PART 13 (13.3)

116 118 12
                                    

Aku ambil segelas air putih hangat untuk ibu. Menyaksikan kondisi tubuhnya yang semakin hari semakin kurus menyadarkanku bahwa banyak beban yang sedang dipikulnya seorang diri.

"Minum dulu, Bu," ucapku.

Ibu mengambil air yang kuberikan. "Makasih, Nak," lirihnya.

Pikiran ibu tampak melayang, tubuhnya memang berada di dekatku, tapi jiwanya seolah menjelajah ke lokasi lain.

"Apa terjadi sesuatu, Bu?" tanyaku ketika ibu memijit tengkuk lehernya.

"Tidak ada. Istirahatlah, kau harus tidur, Are." Sembari memandang air dalam gelas. Aku mematuhi perintah ibu. Namun, ketika hendak beranjak, ibu memanggil. "Are ...." Aku menoleh. "Bagaimana kondisi hatimu, Nak?"

Aku tersenyum tipis. "Masih sama, Bu. Belum ada perbaikan sama sekali ...."

"Cepat atau lambat kamu akan segera terbiasa," ucapnya meyakinkan.

"Bu, bagaimana jika aku gak bisa terbiasa?" tanyaku putus asa.

Ibu menunduk seperti sudah menebak alur pertanyaanku. "Jangan mendahulukan takdir, Nak, kau tidak punya kuasa akan hal itu." Ibu memutar-mutar gelas yang dipegangnya. "Mengenai, Alka, berjanjilah bahwa kau akan melupakannya, Are," pinta ibu.

Akhirnya, apa yang ditakutkan terjadi juga. Melihat gerak-gerik ibu yang gelisah sejak tadi, tidak sulit untuk menerka jalan pikirannya. Masalahnya, semenjak ibu berada di rumah ini, ibu selalu saja menyuruhku melupakan Alka, meski bukan secara langsung.

"Ibu, marah padanya?" tukasku ragu.

Ibu memejam mata. Aku tidak bisa melihat kesungguhan dari ucapan yang disampaikannya. "Marah?" Ibu mengulang. "Ibu, tidak tau, Are ... marah dan suka itu beda tipis." Ibu tampak menyangkal. "Pokoknya, kau harus menjauhi, Alka, Nak."

"Gak usah khawatir, Bu ... lagi pula, Alka sudah melupakanku," gumamku.

Berat memang, tapi itulah jawaban yang kuperoleh dari semua kerumitan ini.

"Bu, mengenai Aras, apa yang sebenarnya terjadi?" Berusaha mengorek kebenaran yang mereka simpan dariku.

"Ibu masuk dulu ... seharian ini, Ibu belum sempat tidur."

Ibu beranjak dari kursinya. Ini adalah metode pengalihan yang sedang ditunjukkannya.

Aku tahan tangan ibu, menyuruhnya kembali duduk. "Hanya Aras yang tersisa dalam hidupku, Bu ...," ucapku pelan. Ya, itulah kejujuran yang selama ini aku abaikan.

"Kamu punya Ibu, Are."

"Iya, maksudnya orang lain yang juga sama pedulinya seperti Ibu," jelasku.

Ibu menuruti ucapanku - mengusap wajahku laiknya sedang mencoba membuat mengerti. "Apa kamu sanggup mendengarnya? Apa kau siap, jika itu bukanlah kabar baik?"

"Berita apa yang lebih parah, dari berita kematian Bapak, Bu?" Tersenyum menyeringai. Bagiku, berita kematian bapak adalah hal tragis yang menimpa diriku.

Ibu bergeming, takut bahwa aku akan terluka. "Aras ...." Ibu menjeda ucapannya. "Aras, menderita penyakit jantung, Are," lirih ibu, sangat lirih.

Sontak, jantungku seperti meluruh, otak berhenti mencerna, tangan gemetar. Bagaimana bisa, wanita setegar Aras mengidap penyakit mematikan itu? Aku tidak menyangka, bila fakta ini membuatku begitu terpukul.

"Sejak kapan, Bu?" tanyaku tidak percaya.

"Sudah lama, Are."

"Ibu, sudah tahu?"

"Ibu baru tau sejak kita berada di sini ... selama ini, Bunda tidak ada cerita apa pun tentang Aras, makanya Ibu terpukul waktu tau bahwa sahabat Ibu satu-satunya menyimpan lukanya sendirian. Bunda menderita seorang diri, Are." Suara ibu bergetar hebat.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang