PART 7 (7.3)

255 259 16
                                    

Aku kenakan jaket tebal, menghalau dingin yang menusuk pertahanan. Aku masih saja terbelalak, terlalu jauh dari kata terpejam. Tiba-tiba suara dering ponsel mengagetkan, cepat-cepat diperiksa sebelum ibu terbangun. Satu pesan dari Aras. Ia menyuruhku segera keluar dari kamar.

“Are, mau membantuku masak?” bisiknya, setelah melihatku.

“Selarut ini?”

“Iya.”

Aku mengaminkan, mengikutinya ke dapur. Di tengah perjalanan, Aras kembali memunculkan gelagat aneh. Ia menunduk, tangannya terkepal, napasnya tersengal-sengal seperti orang habis berlari dan sesekali ia terbatuk ringan dan sesaat kemudian ia terduduk tidak berdaya.

“Kamu kenapa?”

Aras menggeleng. “Sebentar, Are," ujarnya lemah.

Aku menunggu, cemas dengan kondisinya. "Biar aku bantu ke kamar."

"Gak usah, aku gak apa, kok … yuk,” ajaknya sambil berdiri.

“Serius?” tanyaku tidak percaya.

“Iya, Are … biasalah, tadi aku habis olahraga, makanya kelelahan.”

Aras terkekeh, sementara aku hanya mengangguk, lantas berjalan ke dapur dan menyiapkan bahan masakan yang ingin dimasaknya.

Aku dan Aras bekerja secara perlahan - pelan, menghindari keributan yang akan terjadi. Bunda dan ibu sudah tertidur, jadi kami tidak ingin mengganggu waktu istirahat mereka.

“Mau masak apa?” Kala Aras melipat tangan seraya melihat jauh ke kulkas.

“Mmmm ... apa ya? Ah ya malam ini, aku bakalan masak stik dan sosis … kamu suka, ‘kan?”

“Tapi kamu bisa gemuk kalau makan daging selarut ini, Aras,” kelakarku.

“Aku ingin menikmatinya, Are ... aku ingin tau, seperti apa rasanya gemuk,” tantangnya.

Tubuh Aras memang kelihatan jauh lebih kurus dari pertama kali aku melihatnya dulu. Padahal, porsi makan Aras tidak berada di range normal, dalam artian ia melahap makanan apa saja yang ada di depannya.

“Kamu bisa terbang kalau gemuk,” ledekku.

“Seru, dong … aku bisa ketemu malaikat tanpa perlu mati dulu,” jawabnya tidak mau kalah. “Aku juga bisa ketemu sama Tuhan dan bicara pada-Nya ….”

“Emang kalau kamu ketemu Tuhan, mau bilang apa?”

“Mau bilang, jangan jahat-jahat sama makhluk-Nya ….”

Suara Aras bergema, seperti menyampaikan harapan yang telah lama dipendamnya. “Bunda, gimana?” lanjutku.

“Entar, aku bonceng ke sana.”

“Caranya?”

"Diikat pakai karet biar gak lepas.” Aku tertawa, terhibur mendengar lelucon yang disampaikannya sembari mengamati dirinya yang lihai memotong sosis. “Are,” panggilnya dan aku bergumam. “Apa ada pria yang kau sukai?”

Aku terdiam, bingung menjawabnya. “Bagaimana denganmu?” tanyaku balik. Wajah polosnya berseri, laiknya orang yang sedang jatuh cinta. “Sepertinya, ada ….”

“Ih, apaan sih … ngaco kamu,” elaknya.

“Bilang aja, pasti ada, ‘kan?” tukasku. “Kenapa malu?” Aku dan Aras kembali berbincang, melanjutkan masakan yang hampir jadi.

“Pokoknya, kalau nanti aku nikah, kamu harus ada di sana, Are - bareng ibu dan bunda.” Aras mulai membolak-balik daging di atas wajan.

“Kalau udah bicara tentang pernikahan, berarti calonnya udah ada, dong?” godaku.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang