PART 8 (8.1) PENGUMUMAN

262 253 41
                                    

“Hanya karena sebuah pengumuman, aku semakin jauh dari harapan.”

Sakit yang menyerang perutku telah mereda. Meskipun belum sepenuhnya pulih, paling tidak sudah bisa membuka mata meski sekadar melihat lampu kamar yang bersinar. Aku tidak tahu pasti, siapa yang mengantar pulang. Namun, seperti ada wajah Alka tadi malam. Ia datang – mengomel seperti dulu. Hanya saja, aku tidak bisa membenarkan kalau itu adalah dirinya, bisa saja itu hanya halusinasi karena terlalu merindukan sosoknya.

“Are, makan dulu, Nak?” pinta ibu. Aku mengangguk, mengisi perut dengan masakan yang dibuat ibu. Aku tidak akan bertanya siapa yang mengantar, biarlah yang terjadi tadi malam cukup menjadi rahasia semesta. Bukankah begitu lebih baik? “Apa perutmu masih sakit?”

“Sudah tidak sesakit kemarin, Bu ….”

Ibu duduk di sampingku. “Are, bagaimana pendapatmu tentang pria di depan rumah kita, Nak?” tanya ibu tanpa ragu.

Aku tersedak, syok mendengar pertanyaan ibu yang tiba-tiba. “Pura?” tukasku sambil terbatuk-batuk.

“Ibu tidak tahu siapa namanya, tapi sepertinya dia pria baik,” tutur ibu yakin.

“Dia hanya atasanku di kantor, Bu,” jawabku seadanya.

“Tetap saja Ibu bersyukur, karena berkat Pura kamu bisa pulang dengan selamat.”

Aku terkesiap – menghentikan aktivitas mengunyah. Menatap penuh selidik. Merongrong ibu dengan tatapan paling dalam. Pura? Apa benar bukan Alka yang aku lihat? Kalaupun iya, mengapa rasanya begitu nyata? Mengapa rasanya bahwa itu memang Alka, bukan Pura seperti yang dikatakan oleh ibu?

“Dia yang mengantarku pulang, Bu?” Masih tidak percaya.

“Iya, Nak … katanya, kamu pingsan di depan kantor.”

“Apa benar Pura, yang bilang seperti itu, Bu?” Sungguh hati kecilku masih berharap bahwa itu bukanlah Pura, tapi Alka.

“Apa kau kira Ibu berbohong?”

Pandanganku beralih. Tidak lagi menatap ibu. Memilih fokus menyantap makanan. Biarlah waktu yang memberi tahu apa yang sedang terjadi. Bagaimanapun juga, memaksakan sesuatu yang tidak benar-benar nyata, hanya akan menyengsarakanku untuk kesekian kalinya.

“Apa kau mengira bahwa pria itu adalah Alka?”

“Tidak, Bu,” elakku.

“Perasaanmu usaikanlah, Are. Hari ini, Ibu tidak akan menyuruhmu lagi untuk memperjuangkannya. Lepaskan dia, biarkan Alka terbang bersama masa lalumu ….”

Aku terbungkam, lidah kelu, suara bergema dalam kesunyian. Ibu melarang, apa yang terjadi? Mengapa ibu menyerah secepat ini, lantas aku bagaimana? Perasaanku begitu kokoh untuk diabaikan – begitu teguh untuk dienyahkan. Aku tidak mau berhenti, tepatnya bukan saat ini.

******

Lelucon demi lelucon yang biasa diucapkan Pura, tidak secerah biasanya. Raut wajahnya kusut seolah menandakan ada masalah yang sedang dipendamnya. Memahami orang-orang seperti Pura memang tidak semudah yang dikira, sebab mereka selalu pandai mengelabui prasangka lawan bicaranya.

Pura terlalu lihai memainkan suasana. Namun hari ini, ia terlihat tidak baik-baik saja. Sejak tadi, ia hanya diam, bungkam seperti ada sesuatu yang mendera. “Pura,” panggilku, ketika melihat wajahnya muram.

“Mmmm …,” gumamnya dari balik kemudi.

“Gak jadi,” sangkalku. Rasanya terlalu aneh, jika mempertanyakan kehidupan pribadinya, apalagi selama ini aku terlalu membatasi diri darinya.

Pura melirik, seperti biasa, ia tersenyum ramah. “Kenapa, Are? Tanya aja?”

“Mmmm … apa ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku memberanikan diri.

Pura tertawa pelan. “Apa kau mulai penasaran denganku?” candanya.

“Kau selalu saja bercanda, Pura.”

“Tapi kau suka, ‘kan?” tukasnya ceria.

Pura sedang menyembunyikan perasaannya, itu terlihat begitu jelas. Apa yang sedang dipikirkannya? “Kamu sedang bohong,” sanggahku.

Pura menghentikan tawanya. Wajah tampannya kembali fokus. “Tau dari mana kalau aku bohong? Emang udah bisa dengar suara hati manusia?” selorohnya.

“Percuma aja nanya … sudahlah,” sungutku.

“Ha ha … kamu cocok jadi cenayang.”

“Pura!”

“Bercanda, Are Aleandita.” Pura hanya sedang mengalihkan. Itu terbukti dari rautnya yang tidak sinkron dengan kondisi hatinya.

“Are.”

“Enggak.”

Pura terkekeh, ia membuatku tersenyum. “Bagaimana artikelmu?”

“Udah hampir selesai, paling tinggal wawancara aja.” Mobil berhenti di lampu merah.

“Keren, dong,” tukasnya menatapku.

“Masih jauh, Pura. Aku perlu belajar banyak dari, Asa. Dia terlalu hebat untuk menjadi sainganku.” Pandangan Pura kembali menjauh, binarnya merantau ke mana-mana. “Pura,” panggilku ketika ia terdiam, sementara mobil kembali melaju dengan teratur.

“Aku mendengarnya, Are.”

“Hari ini, apa boleh aku minta izin?” tanyaku hati-hati.

“Izin? Mau ke mana?”

“Aku ada janji wawancara.”

“Kamu pergi sendiri?”

“Iya.”

“Emang kamu tau tempatnya di mana?”

“Aku bisa bertanya pada sopir taksi.”

“Biar aku antar,” jawabnya tanpa ada keraguan.

“Gak usah, kantor pasti membutuhkanmu.”

Pura tidak melanjutkan bujukannya dan mobil pun telah berhenti di depan kantor. Aku keluar lebih dulu, menghindari gosip yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Jika mereka melihatku dan Pura satu mobil, bisa-bisa Jeli semakin gencar mengganggu. Jangan heran, aku sudah tahu kalau selama ini Jeli merasa cemburu ketika melihat kedekatanku dengan Pura.

******

Makasih buat kamu yang udah sampai pada part ini ... 🤗

Jangan bosan ya .. hehe
Luv ♥️

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang