PART 8 (8.3)

233 229 46
                                    

Semua data sudah berada di genggaman, saatnya melakukan finishing terakhir. Aku menyalakan komputer, mencari file yang sudah disimpan. Hari ini artikelku akan rampung.

Aku gerakkan tangan dengan teratur, mengusap tetikus dengan pelan - mencari secara perlahan file demi file, tapi belum juga menemukan dokumen yang dicari.

Aku fokuskan pandangan, melihat secara terperinci, tetap saja tidak terlihat. Jantung mulai berdebar, darah mendesir kencang. Aku coba mengurutkan file berdasarkan tanggal pembuatan. Namun mengapa nihil, kosong? Data yang kusimpan ke mana? Mengapa hilang tiba-tiba seperti ada yang menghapusnya?

“Kamu kenapa?” tanya Asa ketika melihatku begitu gelisah.

“Asa … datanya hilang, semua yang aku kerjakan hilang,” jawabku panik.

“Data apa?”

“Artikel yang aku kerjakan ….”

“Serius? Kenapa bisa? Udah lo cek lagi, siapa tau salah letak.”

“Udah … tetap gak ada.”

Asa mengecek komputerku, memeriksa secara random semua folder yang pernah kukerjakan. Tetap saja file itu hilang, tidak berbekas. Aku panik, kepala mendadak pusing – berusaha mengingat, mencari di mata letak file tersebut. Celakanya, hanya berujung jalan buntu.

“Yakin, udah lo simpan?” Ia ragu. “Soalnya, folder spam lo juga gak ada – bersih ... kayaknya komputer lo ada yang instal ulang deh,” Sambil menyimak komputer di depanku.

“Udah aku save, kok,” jawabku yakin.

“Atau seharian ini lo ada nyuruh orang buat megang komputer lo?”

“Gak ada, Asa. Tadi, waktu tiba di kantor, aku langsung masuk ke ruang arsip, gak ada singgah ke sini,” jelasku menerawang.

“Coba lo ingat-ingat lagi, deh.”

“Beneran, gak ada.”

Asa menarik tatapannya dari komputer, mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. “Ada yang makai komputer, Are, gak?” tanyanya pada karyawan lainnya.

“Gue gak ada, As.”

“Gue juga gak.”

“Gue apalagi.”

“Asa … mungkin memang udah kehapus,” tuturku pasrah.

Alka yang baru masuk ke ruangan terlihat sangat santai. Ia seperti tidak tertarik dengan keributan yang tengah terjadi, atau justru ia sengaja menghindari keributan yang terjadi?

“Alka, lo ada megang komputernya, Are, gak?” tanya Asa pada Alka. Sekali lagi, Alka hanya bungkam seakan tidak ingin menanggapi pertanyaan Asa. Aku mati kutu, memikirkan peluang untuk menjadi karyawan tetap harus terkubur begitu saja. Mungkin benar, posisi karyawan kontrak lebih cocok untukku.

“Kalau gak ada yang instal, bisa jadi komputer lo kena virus, Are,” ujarnya ketika Alka hanya diam. Sementara aku hanya terdiam. “Are, lo bisa buat lagi.” Asa menyentuh pundakku.

“Percuma ... lagian tinggal beberapa jam lagi,” pungkasku putus asa.

“Bisa, Are … percaya sama diri lo.”

“Masalahnya, semua data yang aku simpan ikut hilang ... gak ada lagi yang tersisa,” jawabku semakin gundah.

“Kita mulai lagi dari awal, oke,” tuturnya, seraya menyibak rambut pendeknya.

Asa tersenyum, ia tampak tenang, pembawaannya selalu hangat. Ia menyemangati dengan cara yang luar biasa. Jujur hatiku hancur membiarkan harapan itu musnah. Semua data telah lenyap, aku kesulitan jika harus memulai segalanya lagi dari awal.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang