PART 14 (14.5)

119 105 5
                                    

Sepulang dari kantor aku langsung menemui Aras di rumah sakit. Semangatnya untuk hidup sangat besar, ia memiliki motivasi untuk melawan penyakit yang dideritanya.

Ia bertahan, meski jatuh bangun, merangkak, tersungkur, tetap berdiri tegak seolah-olah memang itu satu-satunya cara untuk meyakinkan bunda bahwa ia bukan anak yang lemah.

“Aras,” panggilku lembut supaya tidak mengejutkannya.

Ia tersenyum, meski sesekali ia terbatuk-batuk ringan.

“Langitnya cerah, Are,” ungkapnya memandang langit biru tanpa awan bagai laut yang terhampar.

Aku mengikuti arah pandangnya, merekam arakan langit yang hanya pongah. Suasana ini tidak bisa dibilang mudah, sebab terlalu banyak gundah yang memenuhi kepala. Entah harus melakukan apa, agar seluruh orang tahu bahwa ini benar-benar lelah.

"Aras," panggilku saat kami tidak bersuara. Ia mendesah. “Aku udah bisa masak," ungkapku tiba-tiba. Aras langsung terkekeh. “Kamu kenapa ketawa?” Seraya mengerucutkan bibir.

Ia menggeleng. "Aku senang karena kamu udah bisa masak," balasnya di sela tawa.

“Bunda bilang masakannya lumayan.”

“Masa?”

“Iya, kata bunda untuk pemula aku sudah ada di level satu.”

Sekarang, tawa Aras lebih keras dari sebelumnya, sampai-sampai wajahnya memerah. “Kalau bunda ngomongnya gitu, berarti belum ada kemajuan, Are. Itu sama aja kayak kamu belum mulai apa-apa, maklum aja ucapan bunda banyak kiasannya, susah dipahami.”

Aku tatap Aras dengan tatapan curiga, tapi ia semakin kencang tertawa.

“Iya – ya? Berarti aku terlalu kepedean.”

“Kamu harus belajar lagi, Are,” jawabnya sambil menekan dadanya kencang.

Aku terbungkam, terhenyak melihatnya begitu kesulitan. Bahkan untuk tertawa saja Aras tampak begitu kesusahan.

“Kamu baik-baik aja? Mau aku panggilkan dokter?” tanyaku gusar.

Ia menggoyang-goyangkan tangan, seakan mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Namun, ia tidak bisa mengelak, jika wajahnya semakin pucat akibat menahan sakit pada dadanya.

“Hah,” desahnya kuat.

“Kita masuk, ya?” Aras menahan, memintaku tidak ke mana-mana.

“Aku cuma mau ketawa lepas, Are. Paling gak, sekali se-umur hidup, tapi kenapa sulit sekali?”

Aku lepaskan tangan dari kursi roda yang di dudukinya, sembari merekam rintihannya. Ia masih menunduk, tampak seperti tanah yang pasrah kala diinjak jutaan manusia.

"Aras, gak semua hal bisa kita dapatkan dengan mudah. Adakalanya, kita harus berjuang sekuat tenaga atau bahkan menunggu lama hanya untuk mewujudkan sesuatu yang kita mau."

"Harus se-berapa lama lagi aku nunggu, Are?"

Aku bergeming, kewalahan menerjemahkan kebisingan yang berkecamuk dalam keheningan.

"Aku gak tau harus berapa lama lagi, yang jelas - sampai waktu itu tiba kamu harus bertahan, Aras, kamu harus kuat," tuturku sambil melirik petugas keamanan yang berlari.

Terdengar napasnya yang berat. “Aku mau hidup, Are, aku mau hidup,” lirihnya begitu lirih.

Tanpa sepengetahuannya, air mataku tumpah, kaki bergetar, hati menggigil, semesta runtuh saat merekam permintaan tulusnya.

Ia sedang berada di titik penentuan, tidak bisa dibilang menyedihkan atau menyenangkan, hanya ada kebimbangan dan kepasrahan. Ya, aku tidak bisa apa-apa atau sekedar mengulurkan tangan, hanya bisa diam saat harapannya terbunuh oleh kenyataan.

******

18 Januari 2018

Aku berdiri di samping bapak yang sedang menganyam rotan, sementara Alka duduk bersila di depan bapak.

Bapak terlihat sangat bahagia ketika mengajari Alka membuat anyaman rotan, mereka berdua seperti buku dan pena – lengket laiknya pasangan hidup. Tidak ada kekakuan ataupun kecanggungan, selain kenyamanan.

“Kamu buat apa, Alka?” tanyaku saat ia menguliti rotan.

"Pokoknya buat sesuatu," jawabnya tanpa melihat.

"Iya aku tau, tapi kamu mau buat apa?"

"Apa aja, Are," balasnya sambil mengusap peluh pada kening.

Aku cemberut. "Pak, dia kenapa?" tanyaku pada bapak.

Bapak mengendikkan bahu. "Entah, dari tadi dia sibuk sendiri," ujar bapak.

Ibu datang, ia mengantarkan sup buah. "Dia mau buat dompet, Are - masa kamu gak lihat?" celetuk ibu melihat anyaman di tangan Alka.

Aku dan bapak sama-sama mengikuti mata ibu. "Lah, dompet? Uangnya mana?" sela bapak.

Alka yang semula acuh langsung menengadah. "Uangnya nyusul, Pak - nanti, kalau udah nikah," kata Alka dengan sorot berbinar.

Bapak menyenggol lengan ibu. "Dit, bentar lagi ada yang mau ngisi dompet kamu," tutur bapak.

Ibu menjewer telinga bapak. "Bukan dompet aku, tapi anakmu, Are," rutuk ibu geram.

Aku dan Alka bersitatap, lalu tertawa penuh harap, sebelum akhirnya memutuskan beranjak lebih dulu. Ya, aku harus menyelesaikan pekerjaan kantor yang menumpuk, karena itu tidak bisa berlama-lama menemani bapak dan Alka.

“Alka, kau harus bisa memahami, Are, dia itu persis seperti ibunya, sulit bergaul dengan orang luar … dia punya dunia dan prinsipnya sendiri, Nak,” ucap bapak ketika aku telah berada di dalam rumah.

Aku mengurungkan niat masuk ke kamar, memilih duduk di balik tembok. Entah mengapa, ingin mendengar semua percakapan di antara bapak dan Alka, ingin tahu apa yang sedang mereka bahas tanpa sepengetahuanku.

“Sekarang, Are hanya sedang ragu, Pak, mungkin rasa sakit itu masih mengikutinya.” Suara Alka terdengar dalam.

“Kau dan Bapak itu sama aja, kita sama-sama menyukai wanita yang begitu sulit dijangkau.”

“Ibu dan Are, hanya dua wanita polos dengan hati yang begitu tulus, Pak.”

“Andai suatu saat nanti, Bapak pergi meninggalkan mereka, aku ingin kau menjaga mereka berdua, Alka … kalau nanti Are menerimamu, sayangi dia seperti aku menyayanginya, bantu dia untuk mempercayai orang lain lagi,” pinta bapak begitu lirih.

Akhir-akhir ini ucapan bapak selalu terdengar menakutkan, hatiku selalu bergetar hebat setiap kali mendengar permintaan yang disampaikannya.

“Aku justru takut, Pak, jika suatu saat nanti, akulah yang membuatnya terluka,” balas Alka dengan intonasi rendah.

“Jodoh dan maut, tidak bisa kau tentukan, Alka. Biarkan itu menjadi urusan yang di atas, yang terpenting kau cukup melakukan semuanya se-baik mungkin, jangan menyerah."

“Bagaimana jika Are menolakku, Pak?”

Seharusnya, tidak perlu membiarkan Alka menungguku, kan? Namun, mengapa tidak bisa mengatakan, ‘Iya’ sesuai permintaannya? Apa yang sebenarnya sedang mengusikku?

“Kalau memang itu pilihannya, maka tinggalkan dia dengan cara yang paling baik, Alka. Jangan sakiti hatinya, jangan buat dia menangis … apa pun yang dikatakan Are nanti, itu hanya pertahanan yang dia buat - Are itu bukan wanita yang mudah membuka dirinya, dia hanya butuh satu orang yang bisa mendengar kata hatinya. Tentunya, orang itu harus memiliki kegigihan.”

“Aku harap bisa menjadi orang itu, Pak. Aku ingin menjadi pendengar untuk dunia yang disembunyikannya selama ini.”

Alka, makasih karena kamu begitu sabar menungguku, gumamku dan memilih untuk tidak lagi mendengarkan percakapan mereka berdua.

Aku sudah mendapat apa yang kuinginkan dan sudah saatnya Alka mendapat jawaban yang diinginkannya dariku.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang