PART 13. (13.4)

110 114 6
                                    

5 Januari 2018

Di depan pondok yang dibangun Alka bersama bapak, kami duduk sambil menatap langit. Kali ini tidak ada mendung, tidak ada awan, hanya ada lautan biru yang kosong.

Mataku dan mata Alka sibuk memindai apa saja yang terlihat. Misalnya, semut yang sedang berkumpul, lalat yang beterbangan atau bapak yang sedang mengejar kambing tetangga. Intinya, hilang dalam lamunan masing-masing. 

“Are, kamu nyaman gak di sini?” sela Alka sambil memindai pondok.

Aku menoleh. “Emangnya kenapa?”

“Gak ada sih – aku suka aja, kalau kamu bilang, ‘Aku nyaman, Alka’,” ujarnya tersenyum.

“Kalau gitu, aku bilang, ‘Aku gak suka duduk di sini, Alka’,” kelakarku.

“Berarti besok, pondok ini aku bongkar,” ancamnya.

Aku tertawa. “Gak bisa gitulah ….”

“Bisalah, biar kamu gak ada tempat buat lari.”

“Aku bisa lari ke rumah atau ke kantor?”

“Ya udah, aku bongkar semuanya kalau gitu.” 

“Ha ha, terus aku harus lari ke mana?”

Ia mendekat, memisah sekat. "Ke pelukan aku," balasnya seraya berkedip.

Aku tertawa. Ia pun sama. Dengannya, dunia yang semula sepi tidak lagi menyakitkan untuk diratapi.

"Are," panggilnya di sela tawa. "Hena yang kemarin aku kasih, masih kamu simpan, kan?”

Aku meneguk Saliva. "Kenapa? Henanya mau kamu ambil lagi?” 

“Gak, lah … aku cuma nanya, siapa tau udah kamu kasih ke bapak. Soalnya, aku lihat kuku bapak penuh warna merah, persis kayak warna hena yang aku kasih ke kamu.”

Aku berpaling ke mana saja. Berusaha menjawab dengan tenang. "Sebenarnya ... sebenarnya, hena yang kamu kasih emang diambil bapak, Alka. Kata bapak, dia mau pasang hena di tangan ibu,” ungkapku merasa bersalah.

“Ha ha … bapak kamu emang gak ada saingannya, Are ….”

“Maaf,” lirihku.

“Santai aja, nanti aku beliin lagi.”

Aku abaikan tawanya dan menangkap siluet merah lain di depan.

“Alka, rambutannya berbuah.” Menunjuk buah rambutan di samping pondok.

Alka melihat ke arah yang aku tatap. “Kamu mau?”

Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian, Alka sudah berada di atas pohon. Ia mengambil buah rambutan dengan tangan kosong, sementara aku yang melihatnya merasa getar-getir.

“Alka, turunlah, kamu bisa jatuh.”

“Kenapa, Are?” tanya bapak menghampiri.

“Tuh, lihat sendiri, Pak.” Menunjuk Alka di atas pohon.

“Itu, Alka? Bapak kira musang,” ujar bapak tertawa. “Kamu ngapain di situ, Alka?”

“Ngambil rambutan, Pak … Are-nya lagi ngidam …,” ledek Alka.

“Apa kau bilang?” sanggah bapak terkejut.

“Ngidam dilamar, Pakkk!” Aku langsung menatap wajah bapak yang semringah.

Lagi-lagi mereka berdua berhasil mengurungku ke dalam permainan yang mereka perankan. Aku tidak ingin membantahnya. Jujur saja hatiku sangat bahagia ketika melihat wajah bapak dan Alka tersenyum puas seperti ini. 

“Lanjutkan, Alka!” sela bapak. “Jangan lupa, ambil yang banyak … soalnya Bapak lagi ngidam juga ….”

“Ngidam apa, Pak?” teriaknya dari puncak pohon.

“Ngidam di manja, Alkaaa ….” Mereka tertawa, bagai anak dan ayah, keterlaluan. 

"Are, tangkap ...." Ia menjatuhkan buah rambutan.

Belum sempat ditampung, Alka justru menghujaniku dengan rambutan.

"Gara-gara kamu kepala aku kena timpuk," rutukku saat ia telah turun.

Alka mengibas-ngibas kaus hitamnya dari serpihan daun yang menempel. 

“Salah sendiri … tadi, kan udah aku bilang, ‘Are, tangkap’, kamu aja yang gak bisa nangkap.”

“Gak lucu,” jawabku sambil duduk.

“Biarin.”

“Aneh.”

“Tapi ganteng ….”

“Siapa yang bilang?” tantangku mengangkat dagu.

“Bapak.”

“Ya udah sana sama Bapak, ngapain di sini?”

“Kan, kamunya ada di sini ... kalau aku ke sana, terus yang jagain kamu di sini siapa? Kalau kamu diculik pria lain gimana? Kan, bahaya, Are …,” ujarnya merengek.

“Kalau kamu yang diculik wanita lain gimana?”

“Gak, akan … soalnya, udah gak nerima lowongan.”

“Berisik.” Aku tinggalkan Alka lantas memilih masuk ke rumah.

“Kamu mau ke mana, Are Juan Maulana?” Aku memandangnya. Menatap sambil menyipitkan mata. “Namanya cantik, kan? Are … Juan … Maulana,” ucapnya seraya mendikte secara perlahan-lahan.

Aku menahan senyum. Alka tidak boleh melihatku tersipu. Aku berbalik. Melanjutkan langkah masuk ke rumah. Tidak bisa dipungkiri, pipi merona, tubuh seperti dikerumuni kupu-kupu liar, jantung bagai dikipasi sejuta bunga, sementara tawa bagai dipeluk rumput-rumput merah muda, semuanya indah.

“Are, bilang sama Bapak, bentar lagi nama anaknya aku gantiii ….”

"Bilang sendiri, Alka!" teriak ibu dari dalam.

Aku tidak menghiraukan mereka. Meneguhkan hati agar tidak berlari ke arahnya. Memilih terpukau bagai lukisan cakrawala. Semburat merah jambu hanya bergema, melantunkan syair-syair asmaraloka. Degup telah berirama, bibir terpana – ah, sebut saja ini, cinta.

******

Jika kembali adakah akhir yang berbeda?? - Are

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang