EPILOG

118 43 10
                                    

"Kita hanya dua petarung yang gagal - aku gagal mempertahankanmu, sementara kau gagal memperjuangkanku."

Bunga matahari telah terangkai indah. Pernak-pernik terpajang memenuhi sudut-sudut jendela. Papan bunga bertuliskan, ‘Selamat’ berdiri bagai memberi salam penuh ramah. Tawa-tawa pun saling berikatan bak rantai kimia, sementara wangi manusia mulai menyeruak mengalahi aroma yang ada.

Pelan-pelan, aku pandangi pakaian yang melekat di tubuhku, putih terbalut manja – bibir merah laiknya likuid tumpah, kepala dihias menyerupai ratu istana, sementara wajah warna-warni merekah laiknya boneka, penipuan yang sempurna.  

“Apa ini mimpi, Are?” selanya ketika aku berada di ruang tamu.

Mata yang semula terfokus pada satu sisi, mulai memindai seluruh penampilannya, gaun toska terpampang elegan, kerudung panjang terurai penuh keistimewaan, hena di tangannya melekat tanpa keraguan, sedangkan pipi-pipi tirusnya disapu dengan bermacam kosmetik yang menawan. Aras benar-benar menakjubkan.

“Are, aku masih merasa ini mimpi," ulangnya. Aku mencoba tersenyum, pahit dan sulit. "Makasih karena udah ada, Are dan makasih juga karena kamu mau pakai gaun pilihan aku.”

Aku akhiri ratapan panjang, berusaha memberikan senyum terbaik untuknya. Aku harus menuntaskan ini – mengusaikan apa yang sudah disetujui.

“Kamu harus siap-siap, Aras ... sebentar lagi, acaranya akan dimulai," kelitku, mengusap bahunya pelan.

Aras menahan, membuatku berhenti. “Apa air mata itu untuk aku?” celetuknya tiba-tiba tanpa memandang.

Sontak, tertohok, terpukul dengan pertanyaannya yang gamblang.

“Kalau merelakan berarti melepaskan – apa kehilangan sama seperti melupakan, Are?” Ia masih hanyut pada monolognya.

Ada yang berbeda dengannya, Aras tiba-tiba bersikap dingin. Ini tidak boleh – dokter sudah memperingatkan bahwa Aras tidak boleh stres, ia tidak boleh memikirkan yang bukan-bukan. Sekarang, derunya mulai tidak terkendali. Apa yang sebenarnya sedang mengusiknya?

Aku kembali ke tempat, mencoba menyelamatkan keadaan sebelum hal buruk terjadi.

“Aku gak nangis, Aras – kalaupun aku nangis … itu karena aku bahagia lihat kamu begitu cantik hari ini.” Seraya menggenggam jari-jari lentiknya.

Ia menyeringai, enggan menatap ketakutan yang sedang memporak-porandakan kesadaranku.

“Apa bisa aku bahagia, Are? Apa bisa takdir melakukan itu untuk aku?”

Saliva tertelan dengan liar, mengalirkan basah pada tenggorokan yang kering.

“Aras, ini hari yang penting untuk kamu – hari yang udah kamu tunggu-tunggu sejak lama … aku percaya, kalau takdir bahkan alam semesta tengah mempersiapkan bahagianya untuk kamu ….”

"Lalu kamu, apa bahagia lihat aku nikah sama Jujun?" Refleks, darah mendesir hebat, beberapa kali berkedip, mencoba sadar - tapi tatapan Aras begitu sulit di anggap sebagai kecurigaan semata.

Aras melihatku seperti sedang mencari validasi untuk keraguannya.

"A - aku bahagia, Aras - demi kamu, demi bunda," dalihku meski terbata-bata.

Syukurlah, air wajahnya langsung pulih, ia lega seperti telah berhasil memenangkan pertarungan yang tengah terjadi di antara dirinya dan hatinya. Aku permisi, beranjak menuju tempat yang bisa menenangkan gemuruh dalam kepala.

Aras memberikan persetujuan. Aku melangkah menjauh dari keramaian. Sekalipun perih itu menghujat, aku harus bertahan – paling tidak, sampai semua ini menuju babak pengakhiran.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang