PART 16 (16.3)

77 59 7
                                    

Aku tinggalkan ruang perawatan Aras – menyeret langkah ke sembarang tempat, berjalan terseok-seok. Kadang, tersandung kaki sendiri, kadang terjatuh saat bersenggolan dengan orang lain dan kadang juga tersungkur seolah kehilangan sendi.

Harus ke mana? Ya, aku kehilangan arah. Semuanya runtuh tanpa bentuk, tidak bisa diperbaiki. Aku ingin pergi, jauh ke mana saja, asalkan bukan di sini. Namun, tidak bisa. Ini adalah kebenaran yang sejak lama ingin dicari tahu, tetap saja terasa begitu perih.

Di atas rumput liar, di bawah embun basah yang begitu dingin, tubuh menyatu seiring tetesan yang membuncah. Jujur, ini kehilangan paling memilukan, rasanya persis saat bapak pergi meninggalkanku dulu.

Sakit yang dirasakan terlalu menyakitkan. Aku hancur saat malam tengah asyik-asyiknya mengantarkan jiwa ke peristirahatannya – membiarkanku terjaga tanpa siapa pun di sisi.

Aku tidak bisa menceritakan apa pun – tidak mampu menyangkal apa pun. Aku ingin mengatakan ini salah, tapi paham bahwa ini nyata. Bukan hanya marah yang bersarang, tapi rasa kecewa yang tidak bisa diobati pun ikut menjajah. Aku kecewa pada segala hal.
Bagaimana mungkin sepenggal rasa bisa membuat tersiksa?

“Alka, apa yang terjadi? Kenapa rasanya begitu sakit?” ucapku tersengal-sengal. “Ini gak benar, kan? Kamu bohong, kan? Ini pasti lelucon yang kamu buat, kan? Alka, tolong bilang ... kalau kamu cuma jenguk teman kamu yang sakit dan orang itu bukan, Aras? Iya, kan? Alka, jawab.”

Ia menunduk lemah di depanku. Tangannya memapah, menyuruh berdiri. Jangankan berdiri, untuk duduk saja rasanya sudah tidak mampu. Aku hanya mau menelannya mentah-mentah, menghajarnya sampai rasa sakit ini berkurang.

"Kemarin kamu bilang, kamu cuma jenguk teman kamu, sekarang kenapa jadinya gini?" lirihku sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Ia hanya bergeming, menguliti dengan tatapan yang jauh lebih mengenaskan. Aku ingin membunuh tatapannya – berdialog panjang lebar dengan tatapan yang akhir-akhir ini diperlihatkannya, karena sejak tadi bibirnya hanya terkunci begitu rapat.

"Alka, bicara!" teriakku histeris.

“Are, berdirilah ….”

“Jawab dulu pertanyaan aku ....”

Ia masih saja membatu, sibuk menegak saliva, mengusap wajah. Namun, bukan itu yang kumau. Aku hanya ingin ia menyangkal semuanya.

"Jahat kamu, Alka," rutukku sambil berjalan menjauhinya.

Namun, tangannya justru mencegat, membuatku tertahan. Kini, aku dan ia sama-sama bersitatap.

"Biar aku antar kamu pulang …,” ucapnya setelah diam seperti hantu.

Tanpa sadar menyeringai. "Pulang? Tau apa kamu tentang pulang?!” sungutku mengalahi sunyi yang berlantun. “Kamu sendiri gimana? Kamu pun harus pulang, jangan cuma bisa nyuruh."

“Aku udah bilang, Are, tapi kamu bersikeras ingin di sini … aku tau, ini pasti menyakitkan buat kamu … aku minta maaf.”

“Menyakitkan?” Aku tersenyum sinis. “Lebih dari itu, Alka. Kamu gak tau rasa sakit yang aku alami … kalau tau, kenapa gak dari dulu kamu bilang kebenarannya?! Kenapa seakan-akan kamu nyuruh aku buat nyari tau sendiri?”

“Maaf,” lirihnya tanpa menyangkal.

“Berhenti minta maaf!"

“Kamu harus terima semuanya. Inilah kenyataan yang harus kita jalani.”

“Diam!” bentakku. “Alka, kamu udah janji sama almarhum, bapak … kamu bilang akan jaga aku dan Ibu, kamu bilang gak akan nyakiti aku, kamu bilang ….” Aku tidak bisa meneruskan, tangis itu telanjur meledak, tidak bisa dihindari lagi.

Alka menggoyang tubuhku, ia pun seperti hilang-kendali.

“Sadar, Are, berhenti nyebut nama Bapak … kamu gak tau gimana aku mengutuk diri sendiri ketika nama itu kamu sebut!” Wajahnya tiba-tiba memerah. Ia berbicara dengan intonasi tinggi.

“Alka … bap ….”

“Rewa … Rewa yang udah buat bapak kamu kecelakaan, Are!” ungkapnya menggelegar. Sungguh, seperti ada petir yang menyambar, menghancurkan segalanya. “Rewa, Are! Rewa, adik kandung aku sendiri ... dia yang udah ambil bapak dari kamu – dari ibu.” Ia masih mengulang ucapannya.

Bagaimana lagi aku mengekspresikan suasana ini? Semua kabar yang barusan didengar terlalu beruntun untuk diterima. Kini, di depannya - aku jatuh. Untunglah, ia menyambut sebelum tubuhku menghantam tanah.

“Gak mungkin, Alka … bapak meninggal karena kecelakaan, dia meninggal karena tabrakan, dia meninggal karena balap … bala …,” ucapanku terhenti. Memori lalu mengambil alih. Aku terbungkam kala mengingat pertemuan terakhir bersama Rewa di dekat rumah sakit. Mungkinkah, itu semua petunjuk?

“Dia yang ngadain balapan itu dan dia juga yang udah buat bapak kam ….”

“Stop! Aku bilang stop! Kamu bohong. Kamu pasti bercanda, ‘kan? Gak mungkin.” 

“Setiap kali lihat kamu, aku gak bisa nerima kenyataan itu, Are … aku gak nyangka, adik aku sendiri yang menghilangkan nyawa bapak - pria yang udah aku anggap sebagai ayah sendiri. Rewa lari saat dia tau kalau itu bapak kamu – dia membiarkan bapak terbaring di tengah jalan.”

Air mata itu – ya, cairan tanpa warna itu, muncul di pelupuk teduhnya. Ia menangis – tangisan tersakit yang terlihat sejak mengenal dirinya. Ia terisak-isak bagai meluapkan beban yang terpendam. Alka pun hancur, meleleh tanpa bentuk. Tidak ada keras kepala, tidak ada keegoisan, hanya ada kelemahan dan pengakuan atas semua beban yang dipendamnya selama ini.

Tanpa penyangga, tanpa jejak, tanpa bekas, aku kalah. Meski berulang kali menepuk-nepuk dada, tetap saja udara yang dihirup sangat sulit dibebaskan.

Aku remas lengannya, menaklukkan rasa sakit yang teramat menyakitkan. Aku tidak ingin percaya pada apa pun – enggan menerima segalanya, kesulitan melahap yang sedang terjadi. Semua yang disaksikan dan didengar hari ini seperti maut yang sudah menunggu.

“Alka, ini terlalu mendadak untuk aku terima. Aku belum siap mencerna semua rasa sakit ini … ra – rasanya aku ingin mati,” pungkasku yang masih mencengkeram lengannya kuat. Udara yang dihirup begitu tajam memotong pernapasanku.

Alka melunakkan suara, tatapannya tertunduk. “Dengan lepasin kamu adalah cara aku buat menebus kesalahan, Rewa, Are. Dengan menjauhi kamu adalah hukuman yang harus aku tanggung seumur hidup … maaf, Are – maaf karena aku udah sangat-sangat nyakitin kamu – karena aku air mata kamu jatuh – karena aku juga hidup kamu hancur, maaf.”

“Gimana bisa kalian lakuin itu, Alka? Gimana mungkin kalian rebut bapak dari aku? Kenapa kalian setega itu? Sekarang bilang, apa yang harus aku lakukan? Coba bilang, aku harus gimana nerima semua kebenaran ini, Alka?!"

“Are, maaf … maaf, karena aku se-egois itu nyembunyiin semua kebenaran ini. Maaf, karena aku udah lukai kamu, nyakiti kamu, aku cuma gak tau gimana caranya nebus semua kesalahan Rewa, aku benar-benar bingung, Are.”

“Hentikan. Aku bilang diam, Alka. Kau terlalu berisik!”

"Aku juga hancur, gak kamu aja."

"Keterlaluan kamu."

Tidak ada kebenaran yang menyenangkan. Bagaimana pun kebohongan itu ditutupi, tetap saja akan menjadi bom waktu yang bisa meledak suatu hari nanti dan ini bukanlah kebenaran yang ingin kucari tahu.

Sekarang, aku harus apa???

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang