PART 5 (5.2)

540 504 195
                                    

Sudah jam empat sore, aku memilih menuju rooftop. Semua pekerjaan dari Jeli dan Asa, telah diselesaikan dengan baik. Bekerja di bidang percetakan memang jauh memakan otak, selain mencari berita, aku juga harus merangkumnya dengan baik. Memberi bacaan yang terbaik untuk orang banyak bukanlah perihal mudah.

Rooftop ini, terletak jauh dari ruangan kerjaku. Sepertinya rooftop ini, bukan tempat favorit bagi karyawan di sini, karena faktanya aku tidak bisa menemukan siapa-siapa di sini.

Mungkin karena sepi atau justru karena tidak eksotis, entahlah. Namun, bagiku ini adalah tempat ternyaman untuk sejenak menepi.

"Segelas cappuccino untuk wanita termanis di kantor ini." Ya, kecuali Pura. Sosoknyalah yang paling sering kulihat berkunjung ke rooftop ini. Aku masih hening, memilih menatap segala macam kendaraan yang bisa ditatap dari atas sini. "Are, maaf soal yang tadi," ungkapnya ketika aku masih bungkam.

"Itu tugas kamu, gak perlu minta maaf." Merapikan hijabku yang disapu angin.

"Jeli, memang keterlaluan, dia suka semena-mena sama orang lain," ucapnya dengan intonasi rendah.

"Orang-orang seperti Jeli gak perlu dilawan."

"Sekali-kali, kamu harus melawannya, biar dia berhenti menindas kamu," rutuk Pura. "Kenapa kamu justru mengalah seperti tadi, Are? Seharusnya, kalau itu bukan ulah kamu, kamu gak perlu tanggung jawab." Menuntut penjelasanku.

"Aku gak suka pertengkaran," ujarku begitu saja. Aku menatap ke arahnya, dan melihat tangannya masih menggenggam dua gelas ice cappuccino.

"Pura, kamu juga gak perlu ikut campur dengan urusanku, kamu bisa pura-pura tidak mengenaliku." Pura menyeringai, laiknya sedang meremehkan.

"Di dalam sana, aku memang bisa mengabaikan kamu sebagai Are tetanggaku, tapi aku tidak bisa mengabaikan kamu sebagai karyawanku," tuturnya sekaligus menyerahkan segelas minuman kepadaku.

"Jangan membuat posisiku jauh lebih sulit dari ini, Pura."

"Minumlah, kamu udah banyak berceloteh," jawabnya terkekeh.

"Aku gak suka kopi ... bau," pungkasku. Enggan mengambil minuman pemberiannya, aku memalingkan wajah. Melirik bangunan pencakar langit. Cukup Alka saja yang membuatku belajar menyukai kopi, jangan orang lain, termasuk Pura.

"Serius? Aku baru tau kalau ada wanita yang gak suka kopi." Aku tidak berkomentar, malas menjelaskan apa pun. "Kamu suka ketinggian?" Aku diam. "Biasanya hanya aku dan Alka yang langganan nongkrong di sini." Seraya mengeluarkan rokok dari saku celananya.

Aku menahan deru tatkala nama Alka disebutkan. Jantungku berdebar? Tentu, bagaimana mungkin sebaris nama berhasil membuat debarku tak karuan. Alka sama sepertiku, ia juga menyukai tempat-tempat tinggi seperti ini. Ia bilang, kalau sedang stress, maka jalan pintasnya hanya mencari tempat tinggi sambil menghirup aroma kopi.

"Hanya kalian berdua?" tanyaku setelah berhasil menormalkan deruku.

Pura masih menikmati asap yang dihirupnya, mengizinkan segala zat yang terkandung di dalam rokok menyusup ke seluruh aliran darahnya. "Ada orang lain," gumamnya.

"Siapa?"

"Sekarang, kamu penasaran denganku?" tantangnya.

"Sudahlah," elakku.

Pura tertawa, minuman yang berada di gengamannya telah tandas, menyisakan satu gelas yang diletakkannya di atas tembok pembatas. "Kau harus belajar tertawa, Are, aku belum pernah melihatmu tertawa terbahak-bahak." Menatapku lekat. Aku tidak menggubris, mengacuhkan dirinya seperti sebelum-sebelumnya. "Are, mau mendengar cerita lucu?"

"Tidak usah," tolakku.

"Tapi, aku ingin menceritakannya."

"Pura, jam istirahatku sudah habis, aku duluan."

"Sebentar aja, ini lucu, Are."

"Gak usah."

"Ayolah, Ar."

"Aku bilang gak usah, Pura."

"Are," panggilnya sambil mengejar.

"Gak usah!" teriakku, dan ia tertawa.

******

Jam kantor sudah habis, aku putuskan keluar lebih dulu, ini kulakukan untuk menghindari Pura. Aku lewati meja customer service di lantai satu, satpam yang masih berjaga, terakhir aku harus mencari angkutan umum yang bisa mengantarku pulang ke rumah.

Di depan pagar kantor, sosoknya kembali hadir. Ia sedang bersandar. "Alka," lirihku ketika mendapatinya sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya. Mata kami bertemu. "Kamu menungguku?" Setelah berada di radius yang sama dengannya.

"Jangan bercanda," elaknya menyeringai.

"Lebih baik bermimpi, 'kan? ... daripada melihatmu berubah seperti orang asing."

Alka berdiri dari sandarannya, berdiri tegap. Ekspresinya kaku, tidak ada ramah yang terpancarkan. "Kamu lupa, siapa yang mengubahku?" ungkapnya tajam.

"Alka, sebesar itukah kesalahanku di mata kamu?"

"Salah dan benar, gak ada gunanya lagi, Are ... kita hanya kisah yang dipaksa selesai, tanpa kata, 'Mulai'." Suaranya terdengar menyindir - dingin dan angkuh.

"Usai bagimu, tapi tidak untukku."

"Gak ada hubungan sebelah pihak, Are, keluarlah dari imajinasi kamu," balasnya sedikit meninggi. Aku terpaku, selalu kalah di hadapannya. Kendaraan yang lalu-lalang di kiri dan kanan, seperti musuh yang tidak ingin dilirik.

"Semestinya, maaf itu masih ada di hati kamu, Alka, kenapa kau menepisnya?"

"Are, sekuat apa pun hubungan ini dilanjutkan, gak akan ada jalan keluarnya ... kisah kita bukan untuk diulang, melainkan untuk ditinggalkan di masa lalu."

"Masa lalu? Jangan berkilah, Alka ... kau bisa membuka jalan itu kembali, 'kan?"

"Hanya ada satu jalan yang tersisa, Are ... dan itu, gak akan pernah ada kamu lagi di dalamnya." Air mataku memaksa luruh, tapi aku harus menahannya. Aku lelah membiarkan cairan bening itu, terus saja menetes tanpa izin.

"Aku tidak akan menyerah, Alka ... bila aku yang menutup jalan itu, biarkan aku yang membukanya kembali ... kamu mungkin telah lelah, sementara aku masih punya cukup tenaga untuk membangun kembali jalan yang kau hancurkan itu."

"Pulanglah dengan Pura, kamu belum mengenal wilayah ini," ucapnya dingin. Alka masuk ke mobilnya, meninggalkanku yang masih sibuk mengurus rasaku.

Bersama pengendara lain, ia telah menyatu menyisakan deru knalpot yang begitu memekakkan untuk didengar. Aku melajukan langkah, mencari halte terdekat. Aku tidak akan menuruti permintaannya - marah padanya, karena di samping egonya yang menjulang, ia masih saja memedulikanku.

Bus yang kunaiki berhasil mengurung bayangku, memporak-porandakan tiap jenuhku.
Di antara persimpangan, aku berhenti tanpa aba-aba, terkobarkan seperti api yang membara. Kini, aku memang mengalah, tapi bukan menyerah.

******

Hai Next Part 5 Bagian Last yah ...
Setelah itu, aku revisi dulu, biar lebih enak bacanya .. ❤️

Oh ya, kalau ngutip kata-kata, usahakan cantumkan Judul Garis Rasa-nya yah.. 🥳Makasih untuk 12,5 K - nya 🙏

Jangan lupa jaga kesehatan mental dan fisik kawan...

IG Penulis.
https://www.instagram.com/devii_lestarii08

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang