PART 6 (6.3)

308 321 26
                                    

Bunyi pergeseran jarum jam semakin nyaring, sementara alam bawah sadar masih mengembara pada sosoknya. Aku tidak pernah memintanya melupakanku - tidak pernah berdoa agar ia bersikap begitu dingin.

Sungguh, tidak pernah menginginkan semua itu terjadi, jangankan menginginkan bahkan membayangkannya saja tidak sanggup. Namun, mengapa ia melakukan semua itu? Mengapa bersikap seperti itu? Haruskah aku berhenti di sini?

"Kamu belum tidur, Nak?" tanya ibu yang aku kira sudah terlelap dari tadi.

"Apa aku membangunkan, Ibu?"

"Tidak, Nak." Ibu berbalik. "Are, apa kita pulang saja?" tanya ibu tiba-tiba.

Aku yang sejak tadi sibuk melihat lampu, seketika tertegun. Pertanyaan ibu terlalu tiba-tiba. "Apa Ibu tidak nyaman berada di sini?"

Ibu tampak begitu gelisah. "Bukan itu ... maksud Ibu, dari pada melihatmu lelah seperti ini, bukankah lebih baik kita pergi saja, supaya hatimu bisa sedikit lebih baik."

"Tapi, Bu ...."

"Ibu menyayangimu, Nak ... kau tau itu, 'kan?"

"Aku akan bertahan sebentar lagi, Bu ... tunggulah, sampai hatiku sendiri yang meminta pergi."

"Are, mencintai bukan hanya perihal siapa yang mampu bertahan atau tidak, tapi ini perihal hati kedua belah pihak, Nak ... bila hanya kau yang bertahan, sementara Alka tidak, lalu buat apa lagi? Kau hanya akan tersesat."

Napas terlepas dengan berat, mencoba memahami ucapan yang dituturkan oleh ibu. Aku menyandarkan kepala, lalu meluruskan kedua kaki. "Aku tau Ibu khawatir, tapi ...."

Ibu duduk dari tidurnya, meraih tanganku seperti biasa. "Apa sebesar itu rasamu untuknya, Are? Lihat Ibu," sela ibu.

Mata ibu merasuk ke manik - membobol gerbang tanpa kunci. Biarlah ibu tahu, biarlah ibu sadar, sebab aku benar-benar menyayangi Alka.

"Jangan memberi hatimu seutuhnya, Nak. Berjuanglah sewajarnya, bertahanlah sewajarnya, jangan memaksakan segalanya, kau akan kerepotan nanti, Are. Mencintai itu seperti sehelai kapas, Nak, ketika kau lepaskan, ia akan terbang ke mana pun ... meski hanya karena sedikit tiupan ia akan tetap bergerak, beranjak - tapi, ketika kau menggenggam kapas itu, ia akan bertahan walau angin berembus sangat kencang."

"Semestinya, semua gak serumit ini, Bu ...," gumamku.

Aku membatu, hati terenyuh. Ibu benar, seharusnya aku tidak perlu melepaskan Alka.

"Tapi ingatlah, Are, sekalipun kau melepaskan kapas itu, jika takdirmu dan takdir Alka adalah bertemu, sejauh apa pun angin membawanya, ia akan tetap kembali padamu, Nak."

Aku peluk tubuh ibu, meredam tangis yang terpelihara. Aku masih punya alasan untuk bertahan, ada tanya yang harus dijabarkan. Aku hanya perlu mencobanya sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi, hingga aku tahu bahwa langkah ini tepat atau tidak. Jika pada akhirnya ia masih enggan, maka di sanalah semua kisah ini berakhir.

******

Sudah hampir empat minggu aku bertahan di kota ini, sedikit banyak telah mengenali wilayah di sekitar ini. Meskipun belum sepenuhnya mengerti, lambat-laun aku pasti akan terbiasa dengan sendirinya.

"Pagi, Are Aleandita," sapa pria dari balik kemudinya.

"Pergilah ...." Mengacuhkannya.

"Lagi? Mengapa kau selalu mengusirku, Are?"

"Pergi atau aku teriak?" ancamku.

"Kau tega meneriaki pria se-tampan ini?" kelakarnya sambil menggoyang-goyangkan kaca mata dongker yang dikenakannya.

"Duluanlah, Pura ... aku akan naik taksi."

"Serius, aku duluan?"

"Mmmm."

"Oke, aku duluan."

Aku perhatikan kesungguhannya, dan ternyata ia sungguh-sungguh dengan ucapannya, tumben. Melihat mobilnya berlalu, membuatku mengernyitkan dahi. Tidak biasanya ia patuh. Biasanya, Pura akan semakin gencar setiap kali aku memberi penolakan. Mengapa rasanya sedikit aneh melihatnya berubah?

Sebuah taksi berhenti. Aku buka kursi belakang, seraya memberi alamat tujuan ke sopir tersebut. Baru saja membuka mulut, sopir taksi justru mendahului perkataanku. "Jalan sudirman, Perusahaan Media Future ... betul, 'kan?" tebaknya.

Sialnya, aku tahu suara ini - mengenal nada bicaranya. Ternyata aku salah menduga tentangnya. Pura tetaplah Pura - pria keras kepala yang mengusik hari-hari tenangku.

"Pura, kamu ngapain? Sopir taksinya ke mana?" tanyaku jengkel.

"Tuh, di belakang kita." Menunjuk mobil hitam yang berhenti tepat di belakang taksi.

"Itu mobil kamu, 'kan?" tanyaku membelalak.

"Yups, tadi aku bilang sama sopirnya, ada wanita yang selalu nolak naik mobil keren, dan dia lebih milih naik taksi." Seraya mengangkat kedua bahunya.

"Kamu bisa buat sopir itu dipecat dari pekerjaannya, Pura."

"Gak akan ketahuan, kalau kamu gak ngadu ke pusat pelayanan taksi." Aku menggeleng, tersenyum melihat tingkahnya. Pura memang pria jail seperti yang diduga.

"Itu nomor pengaduannya, 'kan?" Melirik nomor yang tertera di depan kursi pengemudi.

"Iya, mau aku bantu bacain?" tantangnya lantas meneriakkan nomor pengaduan di depannya. "076 ...."

"Gak usah," selaku.

"Ayolah," bujuknya lagi. "Udah kamu catat belum, aku ulangi yah, 07 ...."

"Gak usah, Pura."

"Apa, ulangi lagi? Oke ... 076 ...."

"Pura!" Dan dia tertawa seperti biasanya.

Kami lalui jalanan pagi yang begitu macet. Sesekali pandanganku berlabuh ke pria yang membawa mobil Pura. Bagaimana mungkin, ia mempercayakan orang asing mengendarai mobilnya seperti itu? Aku sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikirannya.

"Are ...."

"Mmmm ...."

"Apa kau begitu takut, jika mobilku hilang? Ayolah, kau bisa berhenti menatap mobil itu ... ada pria tampan di depanmu, bukankah sebaiknya kau memerhatikannya?"

Seperti itulah Pura, ia selalu identik dengan leluconnya. Ia datang bagai menawarkan obat penawar, sudah diberi segala macam perlawanan, ia justru bergeming seakan tidak mendengar penolakan yang kuberikan.

Aku marah? Iya, karena aku tidak ingin ia merasakan jatuh yang sama sepertiku - terlalu takut ia akan tenggelam ke dalam permainan yang dibuatnya. Tentu, itu akan menyulitkan kami berdua.

Awalnya, memang masih bisa diabaikan, tapi sekarang apa aku harus mengabaikannya lagi?

*****

PART 6 BAGIAN LAST AKAN SEGERA UPDATE ..
TUNGGU TERUS YA ..

Ada yang kayak Pura gak ya ???? 😂

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang