PART 6 (6.4)

283 303 23
                                    

10 November 2017

Alka memerintahkanku supaya menuju rooftop. Jangan salah paham, ini dilakukan karena Alka dengan liciknya membawa ponselku ke atas sana. Ia selalu punya cara melancarkan serangannya.

Ya, aku memang jarang berkunjung ke tempat ini. Paling, jika merasa begitu lelah, barulah memutuskan berkunjung ke sini, dan itu tanpa sepengetahuan Alka. Jika ia tahu aku datang ke sini, bisa-bisa ia merecokiku habis-habisan.

“Mana ponselnya?” Setelah sampai di depannya. Aku mengulurkan tangan, tapi Alka justru tersenyum licik. "Mana ponselnya, Alka?" desakku.

"Nih ambil," ujarnya.

Ia memberikan sebuah bingkisan berwarna jingga. Seketika, keningku berkerut, bingung dengan apa yang dilakukannya. Tetap saja, aku ambil bingkisan tersebut, menerka-nerka bahwa ponsel ada di dalam sana. Ternyata, bukan hanya ponsel, melainkan ada benda lain di dalamnya. Sontak, pupilku membesar bagai mendesaknya untuk segera menjelaskan.

“Ini untuk apa?” tanyaku ragu-ragu.

“Simpan dulu, buat persiapan,” jawabnya santai, seraya menyeruput kopi yang dibawanya.

“Hena?” Henalah yang berada di dalam bingkisan tersebut. Aku masih menatap hena yang diberikannya.  “Tapi, Alka ….”

“Aku tahu, pelan-pelan aja, Are, sampai kamu mau, sampai kamu bersedia,” selanya yang masih menatap kopi di tangannya.

Aku menatap wajah lembutnya. Melihat sebanyak apa perjuangan yang sudah dilakukannya untuk meluluhkanku. “Maaf,” tuturku begitu saja.

“Santai aja ... Lagian, aku belum nyerah, kok ... kan, kamunya masih di bumi, berarti masih ada harapan buat berkunjung, ‘kan?” balasnya terkekeh.

Bagaimana jika harapan itu gak pernah ada? batinku sambil lekat menelisik netranya.

“Jangan berpikir yang bukan-bukan, nanti kamu suka,” tukasnya.

Aku tersenyum tipis, tentu tanpa sepengetahuannya. Aku ikuti arah pandangnya, berdiri sejajar dengannya.

“Alka, apa yang kamu suka dari aku?” tanyaku sambil menghirup angin sore.

"Semuanya," jawabnya langsung.

"Maksudnya?"

"Sifat pendiam kamu, sifat dingin kamu, sifat egois kamu, sifat keras kepala kamu, dan semua kejelekan kamu - aku suka." Ia tertawa, puas dengan jawaban yang diberikannya.

Aku terpaku, tidak menyangka dengan penuturannya. "Lalu bagaimana dengan kebaikanku? Apa tidak ada sama sekali?"

"Kebaikan kamu? Ada dong ...."

"Apa?"

"Ketika kamu jatuh cinta denganku dan kamu bersedia nerima aku."

“Al ….”

“Bercanda, Are.”

Ia tertawa, memperlihatkan senyum paling cerah, sementara aku masih terpaku, mencoba memisahkan mana ragu – mana takut yang selalu menyergap.

“Alka, aku gak suka bau kopi,” ungkapku kala ia memegang kopi.

“Aku tau, bapak yang memberitahuku ….”

“Terus, kenapa masih meminumnya di dekatku?”

“Untuk memberitahumu bahwa kopi adalah bagian dari diriku.”

Aku diam, enggan meneruskan perbincangan dengannya. "Gak ada yang spesial dari kopi," cetusku.

"Setidaknya aku spesial," selorohnya.

“Aneh ….”

“Bukan aneh, tapi itulah yang sedang kamu sembunyikan.” Alka memandang jauh, menembus senja yang memerah. “Sesekali, cobalah belajar meracik kopi, Are, biar kamu tau memperjuangkanmu ibarat meracik kopi yang layak diminum … kebanyakan gula, akan membuat cita rasa kopi memudar, tapi kurang gula akan membuat kopi itu terasa pahit.”

“Kalau gitu jangan meminumnya, kopi tetaplah kopi – pahit dan menyengat.”

Tanpa memandang, Alka mendesah berat. “Lebih pahit nunggu kamu, Are ….”

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang