PART 14 (SERPIHAN FAKTA)

119 125 8
                                    

"Aku tidak butuh diam karena terlalu banyak spekulasi yang bisa diambil dari kata diam. Jadi, bisakah kau menyuarakannya hingga membuatku paham?”

Semuanya masih sama. Alka yang bisu tatkala melihatku dan aku yang jungkir-balik tatkala menjauh darinya. Segalanya terlalu rancu untuk ditelusuri – terlalu ambigu untuk dimaknai.

Kami hanya saling acuh, tidak ada percakapan ataupun perdebatan yang biasanya terjadi, sama-sama berusaha untuk saling melepaskan dan menganggap asing satu sama lain – mencoba melupa dengan cara yang berbeda-beda.

Apa boleh buat, rasa itu telah bermetamorfosis menjadi luka yang tidak bisa ditoleransi.

Di balik pintu pantry, aku berdiri – menatap punggungnya yang sedang menyeduh kopi. Ya, hanya ada punggungnya yang tersisa karena ia terlalu enggan menyapa apalagi berbicara.

Selagi sibuk memandang Alka, netraku beralih saat mendengar teriakan di ujung lorong – itu suara Jeli. Ia berjalan dengan cepat sambil membawa satu box berwarna putih. Apa yang terjadi? Mengapa ia terlihat begitu murka?

Jeli mendekat, menarikku hingga berhenti di lorong paling sepi. Ia membanting box yang dibawanya, mencengkeram tanganku dengan erat hingga kuku jemarinya terasa menancap. Jeli bagai hiu yang kelaparan.

“Puas lo … puas lo sekarang, hah!” hardiknya.

Aku berusaha melepaskan pegangannya, tapi Jeli meremasnya begitu kuat hingga perih mulai mengalir dari pegangannya.

“Lepaskan, Jeli … sakit."

“Sakit?" Ia semakin mencengkeram. "Asal lo tau, sakit yang lo rasakan, gak sebanding dengan sakit yang gue rasakan!” Matanya menyalak. “Lo yang ngadu sama Alka, kan?” tukasnya.

“Ngadu apa? Aku gak ada ngadu apa-apa sama, Alka ….”

“Banyak omong lo. Bilang aja lo senang, happy karena jadi bahan perebutan Alka dan Pura, kan? Ah, atau jangan-jangan lo sedang manfaatin mereka berdua?” Bagaimana bisa Jeli beranggapan se-hina itu?

“Jeli lepas, aku gak mempermainkan siapa pun, atau manfaatin siapa pun.”

Ia menyeringai, senyum meremehkannya telah kembali. Ia melihatku begitu rendah seolah-olah tidak pantas berada di sini dengannya.

“Lo polos atau naif?” sungutnya dengan gigi gemeretak.

Aku menelaah makiannya, tapi Jeli terlalu murka saat ini.

“Kita bicara nanti aja ... kamu lagi emosi,” balasku sebelum amarahnya pecah tidak terkendali.

“Lo yang buat gue emosi!” teriaknya. “Lo yang buat gue kehilangan jabatan dan lo juga yang buat gue semakin jauh dari, Pura. Lo paham gak, sih?!”

Jeli melepaskan cengkeramannya, menghempas tanganku hingga membentur dinding. Bukan hanya perih yang terasa, melainkan sakit akibat benturan seolah membuat tanganku mati rasa.

Jujur saja, aku terlalu lelah mendengar rutukannya. Percuma membantah, karena yang diinginkan Jeli saat ini hanya pelampiasan untuk semua amarah yang tengah berkobar dalam benaknya.

“Lo emang gak tau diri.”

Ia mendorongku ke dinding, terasa ngilu – punggung seakan retak. Ia berapi-api, tidak sadar bahwa perbuatannya menyakitiku. Aku masih mencari celah untuk kabur sebab berada di sampingnya di tengah kondisi seperti ini akan membuat segalanya tambah kacau.

“Jeli, pekerjaanku masih banyak ….” Memilih menghindarinya.

"Lo mau tau gak, apa alasan Pura sok dekat sama lo?” tuturnya lantang.

Sontak, langkah terhenti bagai ada rem dalam ucapannya. Tubuh berputar 180 derajat, laiknya semut bertemu madu.

“Lo cuma dipermainkan sama dia, Are. Lo itu cuma diper-main-kan.”

Aku memiringkan kepala. "Aku gak ngerti apa yang kamu bilang ….” Melanjutkan kembali langkahku.

“Gimana lo bisa ngerti, sementara lo aja gak tau,” balasnya menggebu-gebu.

Jeli pasti mengada-ngada. Aku tidak perlu menggubris ucapannya, kan? Ia pasti sedang melantur, sedang dirasuki emosi yang menyalak.

Aku harus berlalu dan menjauh, tapi mengapa otak tidak patuh? Mengapa kaki kebas seakan-akan seluruh anggota tubuh tertanam penuh gerutu?

“Selama ini, Alka yang nyuruh Pura dekati lo – Alka dan Pura, sekongkol mempermainkan lo, Are – jangan bego, lo pikir Pura mau merekrut karyawan gitu aja?” Jeli menyeringai, sinis. “Dan lo tau kenapa Asa dan Pura, putus? Itu karena Pura setuju sama permintaan Alka. Makanya sadar, Pura itu gak setulus apa yang lo pikirin.”

Aku tidak paham, tidak mau memahami. “Jeli, kamu pasti ngelantur, redakan dulu emosi kamu. Nanti, baru kita bicara lagi," ujarku berusaha menghalau ucapannya, mencoba tidak goyah terhadap apa pun yang disampaikannya.

“Pura dan Asa, putus gara-gara lo, Are!” jeritnya penuh penekanan.

Aku meremas tangan, berusaha menepis semua ucapan yang disampaikannya. Tetap saja, tidak bisa dipungkiri, jika saat ini hatiku seolah berlubang dan dengan sengaja aku mengabaika luka-luka yang sedang berdarah.

"Lo cuma perusak hubungan orang, Are!"

“Jeli, diam lo!” hardik Pura yang datang entah dari mana. “Seharusnya lo introspeksi diri karena jabatan lo dicabut, bukannya kayak gini, menyedihkan.”

“Menyedihkan lo bilang? Gara-gara lo gue kayak gini, Pura!”

“Jeli, lo sendiri yang buat diri lo kayak gini. Gue udah bilang, berhenti ganggu hidup gue, tapi lo masih aja kekeh … gak semua hal bisa lo paksakan – gak semua hal bisa lo dapatin, termasuk perasaan gue!”

"Itu karena lo gak pernah buka hati lo buat gue! Di mata lo, gue cuma pengecualian yang gak berhak dapatin hati lo."

"Sekali aja dewasa, Jel ... mau sampai kapan lo usik hidup gue?!"

Jeli mendekat. "Sampai lo sadar kalau gue hancur gara-gara jatuh cinta sama orang kayak lo."

"Gue gak pernah suka sama lo."

"Diam! Lo emang gak pernah berusaha buat jatuh cinta sama gue."

Urat-urat di lehernya terlihat jelas. Maniknya membesar sedangkan otot-otot wajahnya menegang. Diiringi pengakuan yang menyakitkan, ia pergi seraya menyenggol bahuku hingga menepi ke dinding.

Sekarang, aku berhadapan dengan Pura. Jujur, tidak bisa membohongi perasaan sendiri, karena semua ucapan Jeli terlalu kuat mengganggu.

Mataku dan Pura bertemu dalam satu garis lurus, kami saling bertanya dalam keheningan, tapi Pura tidak mengklarifikasi apa pun, sementara aku masih menunggu ucapan apa yang ingin disampaikannya.

Tetap saja, ia diam - bungkam seakan-akan diamnya sedang menjawab bahwa semua ucapan Jeli benar adanya. Sekarang, bagaimana caraku menghadapi dirinya dan Asa?

******

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang