PART 10 (KITA USAI SEBELUM EMBUN MENYENTUH BUMI)

197 181 15
                                    


Aku ajukan serentetan pertanyaan, kau bertahan dan aku menyangkal. Tidak ada titik-temu, kita sudah sama-sama jenuh.”


Aku duduk di ayunan depan rumah, menyimak segala rutinitas akhir pekan yang ada di lingkungan perumahan bunda. Hampir semua penghuni, memilih bersantai di teras mereka masing-masing. Semuanya tampak begitu akrab. Tidak ada kecanggungan antar satu dengan yang lain. Mereka benar-benar saling berbaur. Ada yang tertawa, ada yang saling memijat punggung dan ada yang memotong rumput.

Para anak-anak pun tidak mau kalah. Mereka berkumpul di halaman perumahan, memilih asyik dengan gadget masing-masing, sampai-sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi aku memandangi mereka.

Bosan menatap anak-anak yang sedang bermain, aku beralih – melihat Pura tengah membersihkan mobil di depan rumahnya.

“Are, kamu lagi nganggur, kan? Bantuin aku aja.” Ketika mata kami bertemu.

“Aku sibuk,” balasku acuh.

“Sibuk duduk atau sibuk melamun?” kelakarnya.

Pura mengarahkan selang air ke arahku. “Pura, gak lucu …,” rutukku. Bukannya minta maaf, ia justru memainkan selang hingga membasahi ayunan yang kududuki.

“Pura, kau mau buat banjir perumahan?!” cecar Aras sambil berkacak pinggang.

“Kalau banjir tinggal dikuras, Aras, gak usah bawel.” Pura tertawa.

“Hentikan, Pura, jangan gila deh ….” Aras melempar kotak tisu ke arah Pura.

“Aku gak gila, cuma kurang waras aja.” Pura menjulurkan lidahnya. 

Aras terlihat kesal. Ia berlari ke arah Pura, lantas mematikan keran air. Pura tersentak, kalah ketika Aras selalu berhasil mengalahkannya.

“Kau bisa buat jalanan jadi licin, Pura, jangan keras kepala kalau dibilangin,” gerutunya.

Aku selalu saja tertawa melihat tingkah Aras dan Pura. Mereka seperti sepasang manusia yang tidak bisa hidup berdampingan. Setiap kali bertemu, ada saja lelucon yang dilemparkan. Tentu saja, melihat mereka selalu membuat terhibur.

“Jangan ketawa, Are ….” ucapnya setelah Aras masuk ke rumah. Pura tampak dongkol. Ia berlari ke arah keran – menyalakan, mengarahkan air ke tempatku.

“Pura, stop!” rutukku.

“Biar segar ... kamu belum mandi, kan?”

“Pura, hentikan,” jeritku.

Ia tertawa, senang karena menjailiku. Oke, bila ia ingin menantang, anggap saja ini tragedi yang diciptakannya. Kini, aku dan Pura seakan kembali ke masa lalu, bermain air dan tertawa sepuasnya. Aku tidak pernah se-ceria ini, tidak pernah merasa se-lepas ini. Bagaimana mungkin, bermain air membuatku begitu bahagia?

“Are, oke, oke … aku kalah,” teriaknya ketika kewalahan menangkis air yang kuberikan.  Tentu saja, selang air itu berhasil kurebut dari tangannya.

“Astagfirullah, baju kalian basah kuyup?” sela ibu sambil menutup mulutnya.

Aku dan Pura saling bersitatap, lantas melirik ibu yang tengah terkejut. “Maaf, Bu ... baju Are, jadi basah,” balas Pura dengan intonasi rendah.

Ibu tersenyum, memperlihatkan sepotong bulan sabit di binarnya. “Tidak apa, Pura ... Ibu malah senang lihat Are bisa tertawa seperti tadi.”

“Bahkan jika Ibu minta, saya bisa buat Are tertawa setiap hari,” ledeknya nyengir.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang