PART 8 (8.5)

197 195 10
                                    

28 November 2017

Di kursi panjang, bapak terduduk begitu gembira. Aku menatapnya dari jarak yang cukup jauh, memandang wajahnya yang semakin hari semakin menua. Aku takut, jika suatu saat nanti kehilangan dirinya, tanpa kehadiran bapak, aku tidak yakin apa ada orang yang bisa menerima semua sifatku yang begitu tertutup – ini selalu menjadi hal yang kukhawatirkan.

“Anakku, Are …,” teriak bapak yang ternyata melihatku.

Aku melambai, menuju ke tempatnya. “Bapak sedang apa?” Sambil melihat tangannya yang sibuk menguliti rotan.

“Lagi nyuci baju,” kelakarnya. “Kan, kamu lihat sendiri, Bapak lagi ngapain ….” Bapak tertawa, lantas mengusap kepalaku.

“Emang, Bapak mau buat apa?” tanyaku penasaran seraya duduk di sampingnya.

“Bapak mau buat anyaman, biar rotan di belakang rumah bisa dimanfaatkan.” 

“Minum dulu, Mas,” sela ibu, ikut bergabung bersamaku dan bapak.

“Ibu kamu ini semakin hari semakin manis aja, Are. Bapak sampai pangling dibuatnya,” ujar bapak menggoda ibu.

Ibu tersipu, terlihat dari rona merah yang merangkak ke wajahnya. “Kamu aja, Mas, yang semakin hari semakin jelek,” balas ibu.

“Tega sekali kamu, Dita. Hancur perasaan ini berkeping-keping.” Ibu langsung menggelitik pinggang bapak, membuatku merekah

“Cukup, Dita ... aku bisa gila kalau digelitik terus." Bapak masih menggeliat, mungkin geli.

“Mau lagi?” tawar ibu.

“Cukup sepertinya.” Dan kami tertawa melihat ekspresi bapak yang begitu lucu.

Aku nyaman bersama mereka, karena tidak ada penerimaan yang jauh lebih tulus dari penerimaan keluarga sendiri. Ketika dunia mulai menjauh dari jangkauanku, maka keluarga adalah tempat pulang paling nyaman yang kumiliki. Bersama bapak dan ibu, bahagiaku sempurna.

“Menantu kita sudah datang, Bu!” teriak bapak ketika melihat Alka mendekat.

“Pak, jangan gitu,” sanggahku cepat.

Alka keluar dari mobil yang dikendarainya, menyusul bapak yang tengah melambai padanya. “Sedang apa, bos?” tanya Alka setelah tiba di depan bapak.

“Merangkai rasa,” kelakar bapak.

“Rasa apa, Pak?”

“Rasa sayange, rasa-rasa sayange …,” Bapak mengikuti lirik lagu yang sedang trend.

Aku menutup wajah, berlalu dari hadapan mereka berdua. “Are, duduklah aku bawa makanan kesukaan kamu. Kata bapak, kamu suka donat kentang,” tutur Alka menyerahkan kotak bercorak polkadot. “Dan ini, khusus aku bawakan buat kamu ….”

Aku mengernyit, sedangkan bapak tersenyum smirk. Lagi-lagi bapak berhasil menjebak, menjadikanku kambing hitam.

“Itu kesukaan Bapak, Alka. Aku gak suka donat kentang,” bantahku lugas.

“Tapi kata Bapak, kamu selalu bahagia setiap kali makan donat kentang ….”

“Iya, tapi bukan aku yang bahagia, melainkan Bapak," sanggahku.

Alka melirik bapak dan bapak hanya tertawa geli, sementara Ibu yang mendengar kejujuran Alka, langsung berbalik dan mencubit lengan bapak. "Nakal ya kamu ...."

“Sakit, Dit … sakit.” Bapak meringis.

Ibu menghentikan cubitannya, lantas menjewer telinga bapak dengan mengatupkan bibirnya. Ibu terlihat sangat geram. “Siapa yang suruh kamu iseng?” rutuk ibu.

Aku dan Alka, masih terpaku menyaksikan betapa romantisnya tingkah bapak dan ibu. “Itu bukan iseng, Dit, melainkan ujian kesetiaan …,” bela bapak. “Lagian, kalau minta sama kamu, belum tentu dibeliin.” Bapak mengerucutkan bibirnya.

“Pak, enak?” sela Alka tatkala telinga bapak masih dijewer ibu.

“Kalau enak, gak mungkin air mataku sampai keluar, Alka …,” sungut bapak. Biasanya, jika bapak tidak sanggup menahan jeweran ibu, maka air matanya akan keluar.

Ibu melepaskan jewerannya dan bapak langsung mengusap-ngusap telinganya. “Alka, asal kamu tau … pria di depan kamu ini selalu rakus setiap kali makan donat kentang, bahkan dia bisa menghabiskan satu gerobak donat,” sindir ibu menunjuk bapak.

Bapak masih merintih, bukan hanya telinganya yang memerah, melainkan seluruh wajahnya ikut memerah – tampak begitu kesakitan dengan jeweran yang diberikan ibu.

“Wah … berarti aku dikerjai, Bu …,” tutur Alka merengek.

“Salah sendiri, kenapa kamu se-patuh itu sama, Bapak …,” pungkas ibu ketika sudah berada di dalam rumah. Alka hanya merekah seolah terhibur melihat kenakalan bapak. “Jangan salah, Alka, Are itu bukan hanya anak Bapak, tapi anak Ibu juga ….” Ibu seolah tidak mau kalah.

Tunggu dulu, jangan bilang kalau ibu iri ketika Alka selalu memenuhi semua keinginan bapak?

“Apa Ibu mau dibelikan donat kentang juga?” tanya Alka sedikit berteriak agar terdengar oleh ibu yang sedang berada di dalam rumah.

Tidak ada sahutan. Kami sama-sama menunggu ucapan ibu. Pasalnya, ibu manusia tertutup sepertiku. Jadi, ketika melihatnya bercanda bagai menunggu peri turun dari khayangan.

“Ibu gak mau donat kentang, Alka ….” Kami semua terdiam,  masih menanti. “Ibu, maunya jamur tiram,” pungkasnya sambil menyembulkan kepala dari balik jendela.

Aku, Alka dan bapak hanya saling bersitatap - lantas semringah begitu saja. Tingkah mereka benar-benar membuatku gila.

******

Hai, Mari kunjungi IG saya juga @devii_lestarii08

Mari saling berkenalan dan bercerita..
Bukan tentang Garis Rasa, tapi tentang aku dan kamu hehe .. 🤗

Makasih udah baca part ini ..
Luv ♥️

See you Last Week ... 🙏

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang