Brata tetap melanjutkan kisahnya yang sedang jatuh cinta kepada anak yang bernama "Anes".
"Eh, tapi bukannya dia udah punya pacar ya? Kalo gak salah si Andre bukan sih, ketua geng sebelah? Atau mungkin cuman temenan aja kali ya."
Mendengar ungkapan Tera, Brata berfikir sejenak.
"Tau dari mana lo?"
"Ta, gue kan sering ke kelas nya Anes, ya gue otomatis ngerti lah."
"Iya sih, gue emang pernah liat Anes sama Andre jalan bareng, tapi gue pikir itu gak masalah buat gue," ucap Brata.
Radit menghela nafas, "Tapi, kalo Andre beneran pacarnya Anes, gue saranin lo mundur satu langkah deh. Gue cuman khawatir lo babak belur di tangan Andre."
Daka juga setuju dengan pernyataan Radit. "Gue setuju sama Radit, lo kan tau sifatnya Andre kayak gimana. Inget, lo tuh anak berpartisipasi di sekolah, mau peringkat lo turun cuman karena berantem?"
Brata cukup bisa memahami sahabatnya. "Iya sih, tapi..... gimana ya, gue juga bingung. Pas masuk sekolah gue mau nanya sama Anes, bener gak kalo Anes pacarnya Andre."
"Iya, tapi lo hati-hati juga. Kalo ada apa apa jangan takut buat bilang kita ya," Tera cukup santai menjawabnya.
Mereka melanjutkan permainannya dengan selingan canda tawa yang hangat. Persahabatan ini memang sangatlah menyenangkan, dimana semua menerima satu sama lain, saling menasihati, dan juga saling terbuka.
Tanpa sadar hari sudah mulai gelap dan mereka memutuskan untuk langsung keluar dari kawasan gunung. Dengan hati-hati dan telaten, mereka telah keluar dari lingkungan gunung.
Sebelum langsung pulang menuju ke rumah, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di rest area.
Saat perjalanan pulang, tiba tiba Brata merasa takut, jika ia pulang, mamanya akan marah. Tapi, Brata hanya bisa berdoa yang tebaik, bersiab untuk yang terburuk.
Brata sudah sampai di depan rumahnya, teman temannya sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Brata terus berdoa, walaupun ia tau jika ia berdoa, mamanya akan tetap memarahinya.
Saat Brata membuka pintu, terlihat rumahnya seperti tidak ada orang. Terdapat perasaan lega namun tetap berhati-hati.
Dan benar saja, saat ia membuka pintu kamarnya, ia melihat mamanya yang berdiri tegas dengan muka penuh amarah.
"Dari mana aja lo? Berani banget pergi seenaknya aja. Pinter lo? Berbakat lo? Kerjaannya nyusahin aja langsung pergi-pergi. Emang nilai lo bagus?"
Mamanya bertanya dengan sangat menyeramkan.
Brata sangat teramat pasrah dengan nasibnya. Ia sudah menerima konsekuensinya.
Jika dilihat, mamanya sama sekali tidak mau menyebut nama Brata. Bahkan dia memanggil anaknya sendiri dengan kata-kata "Lo". Tapi, Brata sama sekali tidak masalah dengan itu.
Saat itu juga mamanya langsung menjewer telinga dan menyeret Brata ke kamar mandi. Dan saat itu juga, mamanya menyirami Brata dengan air berkali-kali tanpa ampun.
Brata hanya bisa menangis dan meminta ampunan kepada mamanya. Walau tidak di hiraukan juga pada akhirnya. Tetapi hanya itu yang dapat Brata lakukan. Dirinya tidak dapat melawan mamanya yang dari tadi terlihat seperti kesetanan.
"DASAR ANAK GAK TAU UNTUNG."
Siram
"KENAPA LO HARUS HIDUPPP."
Siram
"KENAPA CARA BUAT GUE BUNUH LO GAK PERNAH BERHASIL."
Siram
KAMU SEDANG MEMBACA
Salinan Hidup
Random"Aku berharap aku bisa diterima di dunia ini walau aku tak sempurna. Aku hidup untuk menjadi diriku sendiri." - Brata [⚠Dalam cerita ini, terdapat beberapa kalimat yang mengandung unsur harsh words, violence, abusive family, and blood.⚠] Start : 21...