Ketika aku berduka
Kau selalu ada, memeluk lukaku
Di saat 'ku butuh teman
Yang mengertiku, bahagiakanku
Telah banyak cerita yang kita lalui
Menangis bersama dan tertawa
Jarak antara kita tak lagi bermakna
Engkau sahabatku selamanya..-Tiffany Kenanga-
◇◇◇♠︎♠︎♠︎◇◇◇
Hujan yang cukup deras mengguyur kawasan rumah Brata. Menemani Brata duduk sambil terisak. Rasanya ia ingin sekali di peluk oleh mamanya sendiri. Berada di fase membutuhkan kasing sayang sangat sulit baginya untuk mewujudkannya.
Tadi dia baru saja menyaksikan pahitnya hidup. Melihat orang di sekitarnya bahagia, menyisakan dirinya sebagai angin lalu. Hanya angin lalu yang tidak terlihat.
"Mah, Angga kan udah 19 tahun, Angga mau motor baru."
"Iya, nanti mama beliin. Tapi jangan bilang Brata ya. Ini spesial untuk kamu."
"Asik, makasih mahh."
Yang mereka tidak tau, Brata dari tadi berdiri tidak jauh dari mereka. Mendengarkan semua percakapan yang menyedihkan.
Sangat menyedihkan baginya.Seperti dunia tidak adil padanya. Setiap hari anak itu selalu menangis entah apa yang ia tangisi. Mulai dari hal kecil sampai hal besar. Hatinya sudah terlanjur rapuh, sampai hal sepele pun bisa ia tangisi.Terkadang ia terlihat sangat lemah.
Brata kembali ke kamar. Duduk di kursi belajar, memandangi awan gemuruh tanda akan turunnya hujan lewat jendela kamar. Sepertinya alam tau, bahwa Brata butuh hujan untuk menjadi sahabatnya di kala menangis.
Sering sekali menangis tanpa alasan sudah menjadi makanan setiap harinya. Dia sangat butuh untuk disayang, dibela, dan dilindungi.
Hujan pun turun perlahan, membasahi permukaan bumi. Brata tiba-tiba meneteskan air mata. Kebiasaan Brata diluar rumah adalah menunjukan senyuman palsu. Terkadang orang lain melihat senyum Brata sebagai tanda senyum bahagia.Namun aslinya itu hanya topeng. Jika dia balik ke rumahnya, senyum itu akan hilang, seperti layaknya orang melepas topeng.
Saat ini, hanya ketiga sahabatnya yang mampu benar-benar membuatnya ia tersenyum sesungguhnya. Jika bukan karena ketiga orang tersebut, mungkin Brata tidak akan pernah tersenyum.
Brata paling suka hujan. Karena ia berfikir bahwa hujan lah yang mampu merahasiakan semua tangisnya di kala ia sedang sedang menangis. Karena semua isakan tangis tidak pernah terdengar orang lain. Hanya hujan yang mendengarnya dan menyimpannya.
Biasanya saat hujan akan tiba, banyak gemuruh petir yang seakan memanggil Brata untuk duduk di kursi belajar dekat jendela, dan menbiarkannya untuk mengeluarkan isakan beban dalam dirinya.
Kali ini hujan berlangsung cukup lama. Sepertinya alam lagi-lagi tau bahwa Brata kali ini ia sangat tertekan, sehingga alam membiarkan Brata menangis lebih lama.
Tangisnya yang pilu memenuhi setiap sudut ruangan kamarnya. Sesak yang menyerang seluruh paru-parunya. Entah, kali ini sedikit memilukan dibanding tangisan kemarin.
Sungguh... dunia terlalu tega untuk memberi takdir seperti ini kepada anak itu. Padahal anak itu selalu ada alasan untuk tersenyum walau di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dirinya sedang tidak bahagia. Namun, terkadang Brata selalu mengingat bahwa dirinya harus banyak bersyukur. Itu ajaran dari Ayah yang ditinggalkan dan masih ia simpan rapat-rapat dalam kenangan indah, "Brata, sesulit apapun hidupmu, sekeras apapun batu besar menghantammu. Jangan lupa untuk tetap selalu bersyukur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Salinan Hidup
Casuale"Aku berharap aku bisa diterima di dunia ini walau aku tak sempurna. Aku hidup untuk menjadi diriku sendiri." - Brata [⚠Dalam cerita ini, terdapat beberapa kalimat yang mengandung unsur harsh words, violence, abusive family, and blood.⚠] Start : 21...