Keputusan Anita

786 72 0
                                    

Entah ada apa dengan Anita hari ini. Usai perdebatannya dengan Sagara di acara anniversary hotel Cempaka Indah kemarin. Dirinya menjadi tampak begitu lesu dan tak bersemangat. Ia bahkan tak banyak protes saat Sagara memintanya untuk membuatkan kopi lagi lagi dan lagi.

Ocehan dan gerutuan yang biasanya keluar dari mulutnya saat Sagara meminta kopi berulang kali, tak terdengar sama sekali. Anita hanya menanggapi setiap perintah Sagara dengan anggukan dan ucapan iya tanpa ada tambaham kata lain di belakangnya.

Hal itu membuat Sagara menjadi kepikiran dan membuatnya tak bisa bekerja dengan tenang. Ia merasa ruangannya jadi terasa sepi, hampa dan tak nyaman.

“Kamu sakit?” tanya Sagara saat Anita meletakkan kopi ke-15. Ia sudah tak tahan untuk tidak bertanya soal perubahan sikap Anita hari ini.

“Tidak, Pak. Saya baik-baik saja,” jawab Anita dengan nada sopan.

Nada bicara yang terasa asing di telinga Sagara.

“Baik-baik saja?” Sagara menatap Anita selidik. “Apa kau yakin?”

Dari bagaimana Anita bertutur kata, Sagara tahu, bahwa ada yang aneh dengan Anita. Meski Anita belum lama bekerja sebagai OB pribadi nya, namun Sagara hafal betul bahwa Anita tak akan berkata sesopan itu dengannya.

“Kau tampak tak bersemangat. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” lanjutnya, berusaha mencari kebenaran. Sagara sangat yakin, pasti ada sesuatu yang telah terjadi pada Anita.

Anita menggeleng pelan.

“Tidak Pak,” jawab Anita singkat.

Jawaban Anita tak membuat Sagara menjadi yakin jika dirinya memang baik-baik saja.

“Apa kau bosan membuat kopi untuk ku?” tanya Sagara. Ia mengubah gaya duduknya menjadi lebih santai agar bisa memperhatikan wajah Anita lebih jelas. Ia ingin tahu apa yang dirasakan Anita sekarang.

“Tidak Pak.”

“Apa kau ingin pekerjaan lain?”

“Tidak Pak.”

"Apa ingin naik gaji?"

"Tidak Pak."

Kening Sagara mengerut tajam. Semua pertanyaan yang ia ajukan seharusnya bisa menjadi alasan mengapa Anita menjadi begitu lesu. Jika pertanyaan-pertanyaan itu bukan pemicu kegundahan hatinya, lantas apa? Sagara tak mampu menemukan kemungkinan lain.

“Jujurlah, aku tidak bisa bekerja dengan tenang jika kau begini. Sikapmu hari ini sangat berbeda dari biasanya. Jelaskan padaku apa yang terjadi padamu,” paksa Sagara.

Anita menatap wajah Sagara sekilas, lalu membuang pandangan ke arah secangkir kopi yang baru saja ia letakkan. “Saya ingin keluar,” katanya jelas.

Mendadak, ruangan Sagara menjadi senyap. Tak ada suara yang terdengar. Selain suara detik jam yang menggantung pada dinding berwarna cream. Atmosfer dalam ruangan juga mulai terasa aneh, seperti hampa. Seperti ada yang menghilang.

Sagara masih menatap wajah Anita. Satu hal yang ia bisa lihat dari wajah cantik itu adalah, keseriusan. Seolah mewakili ucapannya barusan.

“Keluar kemana? Sebentar lagi juga istirahat. Apa kau ingin ke suatu tempat?” tanya Sagara sambil melanjutkan pekerjaannya.

Sagara sebenarnya tahu, bahwa maksud kata keluar yang dimaksud Anita bukan keluar kesuatu tempat. Melainkan keluar dari perusahaan. Namun Sagara berusaha menepis pemikiran itu, karena ia berpikir tak mungkin Anita keluar dari perusahaan ini saat ia masih terikat kontrak kerja.

“Bukan keluar seperti itu, Pak. Saya ingin mengundurkan diri dari perusahaan ini,” jelas Anita, membuat Sagara tak mampu berdalih lagi dari pikirannya.

Secangkir Kopi Untuk CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang