Kesempatan Untuk Sagara

586 30 0
                                    

Perihal alasan Saiful tak jadi melamar Anita, yang langsung di tanyakan oleh kedua orang tuanya, Saiful langsung menjawab jika dirinya tidak yakin apa pantas untuk Anita.

Pernyataan Saiful yang tiba-tiba itu membuat seisi rumah menjadi gaduh serta bingung. Pak Abdul yang tersulut emosi hendak memukuli putra sulungnya itu. Namun, istrinya menahan tangan pak Abdul.

Akibat hal yang sangat memalukan ini, pak Abdul beranjak pulang dengan rasa malu yang besar. Istrinya, Sari, juga menjadi kecewa atas sikap putranya itu.

“Sudah pak Abdul, tidak perlu merasa kecewa. Mungkin kita belum jodoh untuk menjadi besan. Sudah, jangan di ambil hati,” kata pak Budi berusaha menenangkan hati temannya itu.

“Iya, Bud. Maaf ya, aku enggak tahu kenapa dia malah berubah pikiran seperti ini. Padahal kemarin malam dia begitu senang sampai tidak bisa tidur menantikan hari ini.”

“Ya, namanya juga manusia, tidak bisa di tebak isi hatinya.”

“Iya Bud. Makasih banyak ya, Bud. Sekali lagi maaf sudah mengecewakan.”

“Iya, enggak apa-apa.”

Selepas keluarga besar Pak Abdul pulang, Sagara keluar dari dalam kamar Anita. Wajahnya tampak begitu puas seolah telah memenangkan suatu pertandingan yang besar.

“Lelaki seperti itu tidak pantas untuk wanita sebaik Anita,” pungkas Sagara.

Pak Budi yang duduk di ruang tamu sambil masih memikirkan kejadian barusan, menoleh ke arah Sagara yang kini duduk di depannya dengan senyum simpul.

“Apa maksudmu itu?”

Sagara tak memberi penjelasan pada apa yang ia ucapkan barusan. Tapi ia memberi sebuah rekaman telepon yang tadi ia lakukan bersama Saiful.

Pak Budi, bu Wati dan Anita mendengar dengar serius isi rekaman suara itu. Ketiganya sangat terkejut saat mendengar Saiful dengan mudahnya melepaskan Anita karena soal uang.

“Pria, yang lebih mementingkan uang dan jabatan ketimbang orang yang ia cinta, tak akan pantas untuk Anita.”

“Meski begitu, apa berarti kamu pantas untuk anak saya? Kau juga tak punya tata krama,” tuding pak Budi.

Sagara tersenyum lalu tertunduk sejenak. Ia lalu turun dari kursi sofa yang didudukinya.

“Kalau begitu, ajari saya tata krama itu. Dari kecil, saya memang tidak pernah di ajari sopan santun dan tata krama. Ibu ku meninggal sejak aku kecil dan ayah ku selalu sibuk dengan pekerjaannya. Yang bisa ku pelajari hanya soal bisnis dan uang. Tak ada hal lain.”

Pernyataan Sagara membuat hati kedua orang Anita sedikit iba. Terutama bu Wati. Ia langsung menitikkan air mata.

Pak Budi melirik Anita tajam. Ada amarah pada sorot mata pak Budi. Namun ada rasa iba dalam hatinya. Membuat pak Budi terjebak dalam dilema.

“Apa kau cinta pada lelaki seperti ini?” tanya pak Budi pada putri tersayangnya itu.

Anita tak bisa langsung menjawab. Ia merasa malu untuk menjawab saat ada Sagara di hadapannya.

“Tentu putri anda yang sangat cantik ini cinta padaku. Lihat, dia sampai meninggalkan cangkir ini agar aku bisa menyusul kemari,” sela Sagara sembari menunjukkan cangkir kopi yang Anita berikan.

“Aku bertanya pada putri ku, bukan padam!” pungkas pak Budi dengan nada yang terkesan tinggi.

Sagara langsung terdiam. Namun wajahnya masih tampak begitu senang. Ia sangat yakin jika Anita telah jatuh cinta padanya.

“I-iya, Yah,” jawab Anita sambil tertunduk malu. Wajahnya jadi sangat merah.

Pak Budi menghela nafasnya. Ia mengusap wajah dan rambutnya.

“Kenapa kau tidak bilang waktu kau di minta untuk pulang? Seharusnya kau bilang jika kau ada kekasih di kota. Dengan begitu Ayah jadi tak perlu menyetujui lamaran dari pak Abdul kemarin.”

“Ka-kami tidak pacaran, Yah. Entah bagaimana aku harus menjelaskan kepada Ayah, tapi yang pasti perasaan ini muncul sehari setelah ibu menelepon. Malam di saat ibu menelepon,  perasaan ku masih bimbang. Karena, sejak mengenal pak Sagara, yang ku rasakan dalam hati hanya rasa benci. Dia lelaki yang egois dan tidak peka. Bahkan selalu bertindak sesuka hatinnya. Tapi sikapnya perlahan berubah. Dan saat ia mulai berubah, perasaan ini juga mulai berubah. Entah bagaimana cinta bisa hadir dengan cara seperti itu. Tapi yang pasti, aku merasa nyaman jika berada di dekatnya,” papar Anita panjang lebar.

Pak Budi kembali menghela nafasnya.

“Kamu ngomong apa, Ayah tidak tahu. Tapi jika kau memang cinta dengannya, Ayah tidak bisa melarang, asal dia bisa menjagamu dan mencintai mu sepenuh hati.”

“Saya tentu akan mencintai dan menjaga Anita sepenuh hati, Ayahanda.” Sahut Sagara cepat.

“Jangan memanggilku dengan sebutan yang aneh seperti itu. Aku belum memberi restu.”

“Ah, maaf.”

Pak Budi menggeleng. Tak habis pikir rasanya jika harus mengingat mengapa semua ini mesti terjadi. Lamaran yang batal, pria asing yang ingin melamar putrinya. Sungguh membuat pikirannya jadi berat dan sesak.

Pak Budi menatap Sagara dalam. “Kau serius ingin menikahi Anita?” todong pak Budi dengan wajah yang sangat serius.

“Serius,” jawab Sagara singkat namun mantap.

“Kalau begitu bawa orang tua mu kemari. Lebih cepat lebih baik. Lamar anakku dengan baik. Dan nikahi dia dengan baik juga. Karena dia adalah putri sulungku yang paling berharga.”

Secangkir Kopi Untuk CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang