Anita keluar dari kamarnya dengan perasaan cemas. Untuk kesekian kalinya, dirinya kembali ke depan pintu kamar Sagara untuk mengetuk pintu kamar itu. Namun sama seperti kemarin malam hingga shubuh tadi, pintu itu tidak terbuka. Tak ada respon apa pun dari dalam.
Saat bertanya ke resepsionis di bawah, apakah Sagara chek-out atau tidak, Mereka mengatakan tidak. KTP Sagara masih ada di meja resepsionis.
Galau, dilema dan jengkel membuat Anita tidak mampu merasakan ketenangan.
“Kenapa kau selalu menyusahkan aku?” decak Anita sambil memegangi Keningnya dengan amarah.
Anita krmbali ke kamar. Sesampainya di sana, ia kembali menelepon nomor Sagara. Tapi lagi-lagi tak ada jawaban. Pesan singkat pun juga tidak di balas.
Di saat Anita masih kebingungan dengan hilangnya Sagara. Sebuah ketukan pintu membuatnya harus berhenti berpikir tentang Sagara sejenak untuk melihat siapa yang datang. Ia berharap itu Sagara, agar ia bisa melepas kepanikan selama semalam padanya. Tiga tamparan keras di pipi sepertinya akan cukup untuk meredam emosinya, itulah pikir Anita sambil melangkah menuju pintu.
Otot tangan Anita sudah siap. Namun saat pintu itu di buka dengan kasarnya, yang ada di depan pintu bukan Sagara. Melainkan Cecilia dan beberapa teman wanitanya.
Wajah kusut Anita membuat 5 wanita yang berdiri di depannya menatap heran.
“Baru bangun?” tanya Alexa.
“Sudah bangun dari shubuh tadi sih. Kenapa? Lecek ya muka ku?” tanya Anita sambil merapikan sedikit rambutnya.
“Apa pak Sagara belum kembali, An?” tanya Cecilia.
“Begitu lah, aku enggak tahu kemana dia.”
“Apa sudah tanya ke resepsionis? Mungkin mereka melihat bos mu itu keluar.” Kata Desi menyarankan.
“Sudah, Des. Tapi mereka tak melihat Sagara keluar dan juga kamarnya belum check-out,” jawab Anita.
“Kalian masuk gih, kita ngobrol di dalam.” Pinta Anita sembari menggeser badanya untuk memberi jalan pada teman-temannya agar bisa lewat.
“Enggak perlu. Kita mau ke bawah, sarapan. Ayo ikut sekalian,” ajak Desi.
Anita sedikit resah. Ia sebenarnya mau sekali. Tapi entah mengapa ia cemas. Ia masih mengkhawatirkan Sagara. Kalau saja ia tahu Sagara di mana dan sedang apa, tentu dirinya tak perlu cemas dan bisa menikmati masa-masa di sini dengan teman-temannya.
“Eh sudah tanya Soni. Mungkin saja dia tahu.” Kata Alexa.
Anita kelupaan soal itu. Ia pun segera menelepon Soni. Tak perlu waktu lama, Soni langsung mengangkat telepon dari Anita.
“Iya ada apa, Mut?” tanya Soni memanggil Anita dengan julukan.
“Eh, kamu tahu pak Sagara di mana?”
“Pak Sagara? Tadi aku lihat dia di lantai sih. Duduk sendirian. Kenapa?” tanya Soni balik.
“Enggak apa-apa. Dari kemarin sepertinya dia belum kembali ke kamarnya.”
“Oh, jadi kamu khawatir?” todong Soni.
Wajah Anita langsung merah saat di todong pertanyaan seperti itu. Hatinya seakan tertonjok sesuatu saat mendapat pertanyaan itu.
“Si-siapa juga yang khawatir. A-aku biasa saja.”
Dari balik telepon, Soni menyeringai lebar. Ia hampir tertawa geli.
“Sudah jangan gagap seperti itu. Segera jemput dia ada di pantai dan katakan kalau kau tak ingin jauh-jauh darinya,” kata Soni sambil cekikikan. Ia sudah tak mampu lagi menahan tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi Untuk CEO
Ficção AdolescenteAnita harus merelakan jabatan Sekretaris Maneger-nya lantaran melakukan kesalahan konyol dan memalukan yang di mana melibatkan seorang CEO perusahaan tempat ia bekerja. Dan untuk menebus kesalahannya itu, ia di terpaksa menerima penurunan jabatan m...