Hotel Sanur (bagian 2)

349 27 0
                                    

Pertemuan Sagara dengan rekan bisnisnya akan berlangsung besok. Oleh karena itu, untuk seharian penuh ini, dia memiliki banyak waktu untuk menyegarkan otak. Dan tentunya untuk menghabiskan waktu bersama Anita.

Sagara sudah menyiapkan rencana yang tentunya di buatnya dengan bantuan buku panduan cintanya.

“Sarapan bersama. Saling suap makanan. Dan menyeka makanan di tepi bibir pasangan jika ada. Ada dua cara untuk menyeka makanan yang ada di bibir. Cara pertama, dengan lembut. Harus memakai tissue atau dengan tangan. Cara kedua dengan semangat. Seka dengan bibir,” kening Sagara mengerut saat membaca panduannya kembali sebelum keluar dari kamar untuk menjemput Anita.

Sagara menyentuh bibirnya. “Bukankah ini cara yang ekstrem? Cara pertama terdengar lebih bagus, tapi pasti sudah biasa untuk wanita. Apa lebih baik pakai cara kedua? Cara ini pasti akan meninggalkan kesan yang tak akan pernah terlupakan untuknya,” pikir Sagara. Ia belum dapat menentukan cara mana yang harus dia gunakan.

Pukul 7 tepat, Sagara keluar dari kamar. Dan secara kebetulan Anita juga keluar dari kamarnya. Pandangan keduanya saling bertemu untuk beberapa saat sebelum akhirnya Anita membuang pandangan.

“Hari ini jadwal kita sarapan bersama,” kata Sagara.

‘Tentu saja lah, tanpa kau bilang aku juga tahu,’ batin Anita. Wajahnya sudah terlihat kesal sejak melihat Sagara.

Keduanya lalu jalan berdua menuju lantai dua. Sesampainya di sana, jamuan makanan yang tersedia di meja panjang bertolak putih sudah tersaji. Terlihat beberapa juru masak mengeluarkan makanan yang mereka buat untuk tamu hotel.

Anita terlihat antusias. Lagi-lagi Anita beranjak duluan untuk mengambil makanan dan meninggalkan Sagara. Sudah lama ia tak makan makanan yang lezat. Jadi selama di hotel, ia harus memuaskan cita rasa di lidahnya.

Saat Anita sibuk memilah makanan yang disukainya, Sagara hanya mengambil semangkuk kecil salad dan teh hijau panas. Dan memilih duduk di ujung dekat jendela lebar yang menampilkan pemandangan pantai dan tebing bertuliskan pantai Sanur.
Sagara meneguk sedikit teh hijaunya sebelum memakan salad sayurnya.

“Ahh,,, teh memang minuman terbaik,” ucapnya mensyukuri seteguk teh yang mengalir lembut di lubang tenggorokannya. Rasa hangat dari air teh membuat nafasnya menjadi lega.

Masih menikmati Tehnya dan mengabaikan semangkuk salad yang di ambilnya. Anita tiba-tiba duduk di depan Sagara sambil membanting piringnya yang penuh. Membuat Sagara yang duduk tenang dan damai jadi menjingkat kaget.

“Hoi, bisa lebih tenang?” protes Sagara.
“Maaf,” ucap Anita sambil meringis senang.
Rasa tenang yang berhasil ia dapat jadi sedikit berkurang. Apalagi saat melihat isi dari piring Anita. Membuat Sagara mengelus dada dan bernafas berat.

“Apa kau akan menghabiskan semua itu?”

“Tentu saja, kenapa?”

“Tidak, cepat habiskan itu. Setelah itu temani aku ke pantai.”

“Aku tidak mau,” tolak Anita dengan mulut penuh.

Sagara mengerutkan kening. “Tidak ada penolakan.”

“Tidak. Gajiku bisa habis jika dekat-dekat denganmu.”

Sagara menghela nafas dan meletakkan kembali tehnya.

“Baiklah, khusus untuk hari ini kau bebas memanggilku seperti biasa.”

Anita menarik senyumnya. Ia merasa menang dengan mudah kali ini.

“Ok, setuju.”

Anita melanjutkan makannya dengan lahap. Meski makannya begitu urakan karena porsi yang ia ambil cukup banyak. Namun, Anita makan dengan rajin dan bersih. Tak ada makanan yang tercecer. Mulutnya pun selalu bersih. Jika dirasa ada makanan yang mengotori tepi bibirnya. Ia segera mengusapnya dengan tissue.

Di sebrang meja, Sagara melihat Anita dengan serius. Pandangannya begitu dalam dan belum lepas semenjak mendapatkan kesepakatan untuk pergi ke pantai bersama. Anita yang awalnya tidak sadar, lama-lama sadar saat tanpa sengaja matanya melirik Sagara. Ia melirik lantaran curiga Sagara tidak menyentuh makanannya sedikit pun.

“Ada apa?” tanya Anita.

“Makan mu bersih sekali.”

Anita memasang wajah heran. Tak tahu mengapa Sagara berkata demikian padanya.
“Aku wanita berkelas. Tentu harus menjaga sikap saat makan.”

“Tapi porsi makanmu tidak mencerminkan jika kau wanita berkelas,” sanggah Sagara.

“Ini karena kondisi ku yang terdesak. Sudah jangan mengajakku berbicara. Aku ingin menikmati sarapan pagi ku,” ujar Anita lalu mengusap tepi bibirnya dengan tissue. Dan membuang tissue itu karena sudah tak dapat ia gunakan lagi.

Saat Anita membuang tissue di tangannya, Sagara dengan cepat mengambil kotak tissie di meja. Ia tahu bahwa Anita akan mengambil tissue lagi usai membuang tissue-nya.
Anita membeku sesaat saat melihat Sagara mengambil kotak tissue itu.

“Pak, tissue-nya,” tangan Anita menjulur meminta agar tissue itu dikembalikan.

“Tidak, makanlah. Nanti kalau makanmu celometan biar aku yang bantu membersihkan,” kata Sagara sembari memainkan selembar tissue di tangan kanannya.

“Bapak pikir saya anak kecil?” protes Anita.

Sagara mengeluarkan buku panduan cintanya. Buku panduan cinta bersampul merah dengan gambar dua hati yang saling menempel itu menarik perhatian Anita. Membuat Anita sampai menajamkan mata agar bisa melihat tulisan yang tertera apada sampul buku itu lebih jelas. Ia tak tahu buku apa itu. Dirinya baru tahu saat Sagara membacakan sedikit bagian yang tertulis dalam buku bersampul merah itu.

“Menurut buku ini, momen paling romantis saat makan adalah saat pria menyeka makanan yang celometan dibibir pasangannya. Dan untuk mendapatkan momen romantis itu aku harus menyeka bibirmu yang celometan. Karena kata buku ini, wanita suka dengan hal romantis. Dalam buku ini juga disebutkan ada dua cara dalam menyeka bibir pasangan yang celometan. Cara pertama adalah dengan lembut, yaitu dengan menggunakan tissue,” Sagara menunjukkan kembali tissue di tangannya.

“Cara kedua dengan memakai bibir. Menurut ku cara kedua ini sudah seperti orang berciuman. Menurutmu, dari dua cara ini kau suka cara yang mana? Kalau aku sepertinya suka dengan cara kedua. Jauh lebih romantis dari cara pertama. Bagaimana menurut mu?”

Anita menghela nafas berat lalu memijat kepalanya yang mulai terasa penat. Sendok di tangannya ia letakkan di atas piringnya. Moodnya untuk makan sudah hilang usai mendengar perkataan Sagara yang terdengar horor di gendang telinganya.

“Kita ke pantai sekarang saja, Pak. Sebelum saya jadi gila gara-gara Bapak,” kata Anita bangkit dari duduk kemudian berlalu meninggalkan Sagara terlebih dahulu.

Sagara berniat bangkit dari duduknya untuk menghentikan Anita. Dirinya belum mendapat momen saat ia mengusap tepi bibir Anita dengan tissue. Namun saat Sagara akan mengejar Anita. Tiba-tiba Anita kembali ke meja dengan sangat terburu-buru. Dirinya langsung duduk sambil menyembunyikan wajahnya dengan sebuah vas bunga yang menjadi hiasan meja makan.

Sagara terlihat bingung melihat Anita kembali.
“Kau kenapa?” tanya Sagara heran.

Anita tak langsung menjawab pertanyaan Sagara. Dengan cepat, pandangan matanya ia tarik ke arah luar jendela. Saat matanya melihat arah tebing, wajahnya menjadi pucat pasi.

“Kita enggak ke Kuta, Pak?!” tanya Anita panik.

“Enggak kita ke Sanur. Kau tidak tahu?”

Jantung Anita seolah berhenti berdetak.
“Kenapa Bapak malah ke Sanur? Kan aku mintanya ke Kuta. Bapak gimana sih?!” protes Anita.

“Ya soalnya, orang yang ingin ku temui berada di Sanur. Lagi pula, apa kau tidak melihat tulisan Sanur saat masuk ke hotel?”

Sagara lalu menunjuk luar jendela. Arah tangannya menuding tepat ke arah tebing bertuliskan pantai Sanur dengan tulisan yang besar. Lalu Sagara juga menunjukkan sebuah kartu ucapan bertuliskan selamat datang di hotel Sanur. Semua hal yang ada tulisan Sanur, Sagara tunjuk. Untuk menyadarkan Anita jika mereka memang sedang menginap di hotel dekat pantai Sanur.

Anita diam membisu. Dirinya benar-benar tidak tahu. Kekesalannya kemarin telah membuatnya acuh pada sekitar. Dan menyebabkan ia tak tahu bahwa dirinya sedang ada di Sanur. Lokasi di mana reuni akan berlangsung.

Secangkir Kopi Untuk CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang