Belajar dari pengalamannya, untuk hari ini, Anita sudah membuat 50 gelas kopi sekaligus. Ia mengantar kopi sehanyak itu menggunakan meja troli seperti yang ada di restaurant-restaurant.
Awalnya ia merasa kesulitan saat membawa kopi sebanyak itu. Namun Anita tetap melakukan hal berlebihan tersebut sebagai bentuk protesnya atas sikap Sagara yang kian menjadi.
“Hoi! Kau mau membunuhku? Untuk apa kau membawa kopi sebanyak ini? Apa kau lupa kalau aku punya mag? Aku bisa mati karena kopi sebanyak ini!” protes Sagara saat mejanya sudah dipenuhi 20 gelas kopi, sisanya masih ada di meja troli.
“Memang lebih baik kau mati saja. Aku sudah lelah membuatkan kopi untukmu. Sudah hampir 500 gelas kopi dalam 2 minggu ini, dan kau masih tak menyukai kopi buatan ku 1 pun!” sahut Anita tak kalah garang.
Ia sudah semakin berani saat berbicara dengan Sagara. Seolah, kedudukan Sagara setara dengannya. Atau bahkan di bawahnya, sedikit.
Tak ada lagi sopan santun, tak ada lagi menghormati Sagara sebagai atasan. Bahkan, Anita menganggap Sagara sebagai sebuah masalah yang tak tahu di mana letak ujungnya.
“Kata siapa? Aku menyukai kopimu yang waktu itu, yang aku ingin bawa pulang 20 gelas. Tapi kau tak pernah membuatkan kopi seperti itu lagi untukku. Omong-omong kopi yang waktu itu, kopi apa? Rasanya sungguh enak sekali,” rajuk Sagara memasang senyum termanisnya. Berharap Anita bersedia membuatkan kopi itu lagi.
Anita diam tak menjawab dan malah memalingkan muka. Membuat Sagara menghela nafas panjang saat melihatnya.
“Lagi pula, bukankah pekerjaanmu ini sangat mudah dan ringan? Hanya membuatkan kopi.”
“Bicara apa kau? Membuatkan kopi untukmu, sama saja dengan berlari maraton!”
“Lalu?”
“Aku ingin berhenti membuat kopi! Beri aku pekerjaan lain. Kau kan tidak punya sekretaris, bagaimana kalau aku menjadi sekretaris mu saja? Aku punya skill dan pengalaman, bagaimana?” Anita menawarkan diri dengan harapan Sagara akan memenuhi tawarannya ini dengan baik.
Sagara terdiam beberapa detik menatap wajah penuh percaya diri Anita, sebelum akhirnya mengangguk, “Baiklah, kalau itu mau mu.”
Sontak saja saat mendapat jawaban seperti itu, Anita langsung memasang senyum jreng! bak kuda menang balapan. Anita begitu senang dan menjadi sangat kegirangan. Semua perasaan bahagia tiada tara itu tergambar jelas di wajahnya.
“Ah, benarkah? Wah syukurlah, akhirnya buah dari kesabaranku matang juga,,, Ka-kalau begitu bagaimana kalau kita mulai detik ini juga? Angkat aku jadi sekretaris mu dan beri aku pekerjaan layaknya sekretaris seorang CEO. Aku berjanji akan bekerja dengan sangat baik," bujuk Anita dengan wajah yang masih tetap bahagia. Senyumnya tertoreh selebar-lebarnya.
“Baiklah kalau ini mau mu. Kalau begitu sebagai seorang sekretaris CEO yang baru, aku tugaskan kau untuk membuatkan sepiring nasi goreng untukku. Jangan terlalu pedas. Dan tidak pakai saus atau kecap, oh iya satu lagi, pakai jamur dan kubis, aku suka dua kombinasi itu,” kata Sagara memberikan tugas pertamanya sekaligus memberi sedikit gambaran akan tugas yang ia minta.
Anita diam mematung dengan senyum merekah yang masih tertahan pada wajah cantiknya.
“Pak? Apa kau,,, tuli?” senyumnya masih tertahan.
“Tentu tidak,” jawab Sagara enteng.
“Lalu kenapa kau memberi tugas yang tak jauh beda dari sebelumnya?!” sembur Anita murka.
“Hah! Kau ini banyak sekali protesnya. Bukankah kau sendiri yang minta untuk di angkat menjadi sekretaris?”
“Iya, itu sangat benar. Benar sekali. Tapi,,, kenapa tugasnya seperti itu? Bukan duduk manis di depan layar sambil terus mengerjakan tugas yang sangat menumpuk?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi Untuk CEO
Fiksi RemajaAnita harus merelakan jabatan Sekretaris Maneger-nya lantaran melakukan kesalahan konyol dan memalukan yang di mana melibatkan seorang CEO perusahaan tempat ia bekerja. Dan untuk menebus kesalahannya itu, ia di terpaksa menerima penurunan jabatan m...