Nasib Anita (bagian 2)

1.5K 95 3
                                    


Anita memesan nasi campur dan es jeruk untuk menu makan siangnya di kantin kantor.

“Ini, Bu. Silahkan,” ucap seorang pramusaji wanita yang usianya hampir sepantaran dengan Anita.

Anita yang tampak muram jadi kian muram karena panggilan pramusaji kantin itu padanya.

“Ina, bukannya sudah aku kasih tahu untuk tak memanggilku seperti itu? Aku belum cukup tua untuk kau panggil seperti itu!” protes Anita.

“Maaf kak,,, tapi jabatan kakak yang tinggi itu membuatku harus memanggil seperti itu,” kilah Ina.

“Jabatan itu hanya di saat jam kerja, sekarang aku lagi istirahat. Lagi pula jabatanku--” Anita segera menghentikan ocehannya.

Hampir saja dirinya bicara soal jabatannya yang terancam di tempat yang lagi banyak orang. Kalau sampai ada yang mendengar, bisa gawat jadinya. Kalau orang yang mendengar merasa iba sih masih mending. Namun kalau sampai yang mendengar malah suka dengan terancamnya posisi yang di tempatinya. Bisa-bisa ia mendapat tepuk tangan keras dan siap-siap dipermalukan.

“Hei-hei, ada apa dengan jabatan kakak? Apa dapat promosi lagi?” tanya Ina memecah lamunan Anita.

“Ku harap begitu,” jawab Anita dengan wajah muram yang masih sama. Lalu pergi menuju meja yang sering ia gunakan untuk makan siang.

Anita mengambil meja kosong di ujung kantin dekat tanaman Monstera untuk menghabiskan makan siangnya. Ia memang sering duduk di sana karena senang dengan suasana yang sedikit lebih sunyi.

Tak lama Anita duduk manis sambil melahap sesuap demi sesuap nasinya. Seorang pria tampan dengan tatapan tajam berjalan menghampiri mejanya. Semua penghuni kantin yang mengenali sosok pria tampan itu langsung memberi salam hormat.

Entah itu yang sedang mengantri makanan atau yang sudah duduk makan, mereka menyempatkan diri untuk memberi salam. Namun pria tampan itu tak menoleh atau membalas salam hormat mereka. Ia hanya terus berjalan dan berhenti di meja yang Anita tempati, lalu duduk tanpa permisi.

Pemandangan itu membuat para penghuni kantin yang sedang istirahat makan siang bertanya-tanya, mereka saling bergumam di meja mereka satu sama lain.

Anita yang fokus pada dilema di hatinya tak menoleh sedikit pun saat pria tampan itu duduk tepat di depannya. Bahkan ia tak tahu siapa pria yang berani duduk di depannya saat kondisi hatinya lagi gundah gulana.

“Hoi, apa makananmu tak seenak itu sampai wajahmu kusut seperti itu?” ucap pria itu pada Anita.

“Bukan urusanmu. Kau tak akan-” jantung Anita berhenti berdetak saat matanya melirik sekilas sosok yang ada di depannya.

Anjirlah, mati aku,,, kenapa orang ini bisa ada di sini sih?!’ pekik Anita dalam hatinya merengek.

“Tak akan, apa?”

“Eng-enggak kok Pak. Ss-sa-saya cu-cuma lagi melamun,” kilah Anita gagap. Keringat dinginnya mengucur di kening dan ubun-ubun.

“Melamun? Kau ini sangat tidak sopan sekali. Waktu makan kau buat melamun. Lagi pula melamunkan apa? Lagi kangen sama pacarmu? Atau melamunkan hutangmu yang belum lunas?”

Melamunkan nasibku di tanganmu setan!’ umpat Anita dalam hati.

“Bu-bukan kok Pak. Ah, emm,,, ini tumben kok Bapak makan di kantin? 3 tahun saya kerja di sini, baru kali ini saya lihat Bapak makan di kantin,” Anita berusaha merubah topik pembicaraan.

“Kenapa? Tak boleh?”

“Eng-enggak begitu Pak,,, boleh-boleh saja kok Pak. Saya cuma sedikit terkejut saja,” terang Anita sambil mempertahankan senyum manisnya yang semakin dipaksakan untuk tersenyum, semakin terlihat aneh dan menggelikan.

“Yah, aku memang baru sih makan di kantin. Biasanya pesan di luar kalau enggak begitu nanti ada yang nganter. Tapi hari ini ada hal menarik yang ingin ku lihat.”

“Hal menarik yang ingin bapak lihat? Hal apa itu Pak?”

Sagara tersenyum penuh makna sebelum akhirnya memberi jawaban, “Tentu saja dirimu. Lebih tepatnya wajah muram mu.”

Deg! Untuk ke dua kalinya, jantung Anita serasa seperti berhenti. Rasa sungkannya pada atasan, membuatnya lupa, jika dirinya ada problem dengan orang berpangkat tinggi di depannya. Tentu saja Sagara kemari untuk melihat wajah frustrasinya, sekaligus untuk mengejek dirinya. Kalau tidak, untuk apa lagi Sagara sampai repot-repot makan ke kantin kalau tak untuk melihat wajah putus asanya.

Melihat Anita yang membeku, membuat Sagara tak mampu menahan tawanya. Beberapa orang kantor yang ada di kantin sampai melihat ke arah meja Sagara dan Anita berada. Ada yang bertanya-tanya penyebab Sagara tertawa. Ada pula yang merasa iri dengan Anita. Karena bisa makan bersama dengan seorang CEO tampan di perusahaan ini. Terlebih, jika di lihat dari jauh, keduanya tampak bersenang-senang sampai-sampai Sagara yang terkenal cuek plus dingin jadi tertawa.

“Apa bapak berniat mempermainkan saya?” suara lirih Anita menggema di telinga Sagara. Sehingga menghentikan tawanya.

“Tentu tidak. Apa kau pikir aku orang yang seperti itu? Malah sebaliknya.”

“Sebaliknya?”

“Kau pasti tak bisa mengingat kesalahanmu bukan?”

Anita diam.

“Kalau begitu cepat selesaikan makan siangmu itu, lalu ikut ke ruanganku.”

Secangkir Kopi Untuk CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang