Bab 14

86.4K 13.8K 1.3K
                                    

Tapi kalo kamu bersikeras ingin tahu, yes dia bukan pacarku. Tapi dia calon suami aku.

Ucapan itu terus terngiang di telingaku bahkan ketika mobilku sudah memasuki parkiran sekolah Elang. Setelah mengucapkan kalimat itu aku memang langsung pergi meninggalkan Rendra yang masih terpaku. Sudah waktunya menjemput Elang pulang sekolah, jadi tanpa pamit aku langsung pergi dan dia kelihatannya terlalu shock hingga nggak menahanku.

Ya Tuhan, maafkan hambamu sudah berbohong. Tapi situasi tadi memang membutuhkan sebuah penanganan yang cepat dan akurat. Mengaku sudah punya calon suami adalah satu-satunya cara yang bisa kupikirkan untuk mengusir Rendra dari hidupku.

Aku terkejut dengan kedatangannya yang sangat tiba-tiba. Kalut memikirkan apa dampak kedatangannya untukku dan terutama untuk Elang. Ditambah lagi dia berhasil memicu emosi dengan menggoda karyawanku. Ya emosi, sudah pasti bukan cemburu. Jadi tercetuslah kebohongan itu, sebagai bentuk pertahanan diri.

Aku tersenyum kecut, hingga detik ini nggak ada yang namanya calon suami. Aku nggak menerima lamaran Mas Gilang. Aku bilang belum siap untuk menikah. Bukan karena aku trauma dengan pernikahan, hanya saja aku ingin lebih hati-hati. Nggak mau terburu-buru mengambil keputusan, karena sekarang bukan hanya menyangkut hidupku tapi juga hidup Elang.

Semenjak itu hubungan kami merenggang. Sikap Mas Gilang masih tetap baik. Tapi aku merasa dia lebih menjaga jarak, mungkin butuh waktu untuk memikirkan apa aku layak untuk dikejar lebih lanjut atau cukup hanya sampai di situ.

Aku nggak memintanya untuk mengejar atau menunggu hingga aku siap. Aku nggak mau menggantung lelaki seperti itu. Jika dia memang punya pilihan lain, dia bisa memilih yang lain. Aku sudah cukup nyaman dengan hidupku sekarang walau tanpa suami.

"Bun, Jason ulang tahun," lapor Elang begitu masuk ke dalam mobil. Tangannya sibuk merogoh ke dalam tas sekolah lalu mengeluarkan sebuah undangan bergambar dinosaurs.

Aku meraih undangan itu dan membacanya. Acaranya hari Minggu, pool party with Dino di Harris Hotel. Aku menghela napas berat sambil mulai menjalankan mobil meninggalkan lapangan parkir Kindergarten tempat Elang sekolah.

Ya, aku nyaman dengan hidupku sekarang tapi ada momen-momen tertentu dimana aku berharap memiliki seorang suami dan ayah untuk Elang. Salah satunya adalah saat acara ulang tahun teman sekolah Elang. Acara yang sangat ingin aku hindari tapi nggak bisa.

Menghindari acara kumpul-kumpul para orang tua murid jauh lebih mudah. Aku hampir nggak pernah ikut bersosialisasi dengan para orang tua, nggak terlalu aktif di grup whatsapp mama-mama dan selalu menolak jika diajak arisan. Tapi acara ulang tahun teman Elang nggak bisa dihindari. Mau nggak mau aku harus mengantar Elang datang. Aku nggak bisa menuntut Elang untuk menutup diri sama sepertiku. Elang butuh teman, di usianya yang sekarang dia sangat butuh bersosialisasi.

Yang jadi masalah sebenarnya bukan acara pestanya, tapi tatapan dan bisik-bisik para Mama. Sebagai single parent yang bahkan nggak pernah menikah sudah sewajarnya aku akan selalu jadi bahan pergunjingan di kalangan mama mama haus gosip. Aku sangat memahami itu tapi bukan berarti aku bisa menerima dengan lapang dada. Tetap saja ada rasa risih, kadang juga sedih.

Di awal sebenarnya aku berusaha mengakrabkan diri, tapi ternyata predikat punya anak tanpa menikah itu tetaplah sesuatu hal yang terlalu seru untuk nggak dijadikan bahan gosip.

"Itu tuh yang namanya Nadia, mamanya Elang, cantik sih, tapi nggak punya suami kabarnya."

"Emang suaminya kemana ya, Mbak?"

"Enggak jelas juga, gosipnya sih nggak pernah nikah."

"Lo nggak nikah kok bisa punya anak?"

"Ya bisa dong, emangnya cuma pasangan nikah yang bisa punya anak?"

Dari Balik Jendela (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang