Bab 40

113K 14.9K 1.4K
                                    

Belum tengah malam kaan? 😂. Semoga belum pada tidur, enjoyyy 😁

Aku duduk di atas pasir putih mengamati dua sosok yang tengah bermain air di bagian laut yang dangkal. Hari ini ombaknya cukup tenang membuat hatiku juga jadi lebih tenang. Kemarin aku sempat membaca kalau ombak di sini cukup besar hingga membuatku semalaman kepikiran.

"Bunda, ayo berenang!" Elang berseru di kejauhan. Tangannya melambai sementara wajahnya dihiasi seulas tawa lebar.

Aku balas melambaikan tangan namun kepalaku menggeleng. Seperti biasa aku lebih memilih menonton daripada ikut beraktifitas. Selain karena air laut yang asin pasti rasanya lengket dan nggak nyaman di kulit, juga karena sebuah alasan lain yang tak kalah penting. Aku tidak bisa berenang.

Sepasang alisku terangkat melihat Rendra membisikkan sesuatu di telinga Elang lalu bocah itu berlari ke arahku sambil tertawa jail. Pasti ada konspirasi untuk menjebakku agar mau masuk ke air, tapi kali ini aku nggak akan tertipu lagi.

Aku berdiri, bersiap untuk lari kalau Elang lagi-lagi membawa kodok atau binatang laut lainnya. Namun Elang tiba di hadapanku tanpa membawa apa-apa. Ia hanya menyampaikan pesan dari Ayahnya dengan mata berbinar.

"Bun, kata Ayah, kalo Bunda nggak mau berenang, Ayah yang akan kesini buat gendong Bunda trus nanti diceburin ke laut," ucapnya lalu tertawa melihat mulutku yang menganga.

Pasti cuma ancaman kosong belaka. Nggak mungkin Rendra senekat itu, kan? Mataku menyipit menatap sosok Rendra yang tengah berkacak pinggang di kejauhan. Ekspresinya tak terbaca karena matanya ditutupi sebuah kaca mata hitam.

"Bunda kan nggak bisa renang, El, jadi Bunda lihat kalian dari sini aja ya," tolakku dengan wajah memelas.

"Nggak seru dong. Lagian di pinggir airnya dangkal kok, nggak bisa berenang juga nggak apa-apa."

"Tapi..."

"Kata Ayah, dia bakal hitung sampai sepuluh. Kalau aku nggak berhasil bujuk Bunda, Ayah yang bakal ke sini."

Kembali aku menoleh ke arah Rendra dan melihatnya sudah berjalan ke arah kami dengan seringai nakal di bibirnya. Refleks kakiku mundur selangkah, lalu dua langkah saat melihat Rendra mulai berlari.

"Ya..ya udah, ayo kita ke sana," ucapku gugup pada Elang. Elang menoleh ke belakang lalu menghela napas sambil geleng-geleng kepala.

"Udah telat kayaknya, Bun. Ayah udah ke sini tuh." Ia menatapku iba, atau pura-pura iba karena saat aku mundur lagi selangkah, tiba-tiba ia berseru pada Ayahnya.

"Buruan, Yah, Bundanya mau kabur tuh."

Aku melotot menatap Elang yang malah meloncat-loncat kegirangan, seakan tak sabar menanti sebuah tontonan seru yang mendebarkan. Aku ingin menjewer kupingnya gemas tapi nggak ada waktu lagi, Rendra sudah semakin dekat maka tanpa pikir panjang aku berlari.

Sayangnya kaki-kaki panjang Rendra tampaknya bukan sekedar pajangan. Kecepatan lariku pasti terlihat sangat menyedihkan jika dibandingkan dengannya. Padahal aku sudah lari sekuat tenaga tapi dalam hitungan detik dia sudah berhasil menyusulku.

Aku hendak bicara namun hanya suara teriakan yang terdengar karena tiba-tiba saja aku merasa tubuhku melayang. Dunia rasanya terbalik. Kakiku tak lagi menginjak tanah sementara kepalaku ada di bawah. Mataku berhadapan dengan punggung telanjang Rendra yang berpasir. Ya Ampun, ternyata dia memikulku di bahunya seperti seonggak karung beras.

"Turunin aku Ren! Sekarang juga, kalo nggak..."

"Kalo nggak apa?" Ia menepuk pantatku ringan dan aku pun kehilangan kata-kata. Wajahku panas membayangkan matanya yang bisa menatap jelas bongkahan pantatku yang polos tanpa balutan benang. Aku bisa merasakan tangannya yang kini bebas memgusap di sana tanpa sungkan.

Dari Balik Jendela (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang