Bab 17

92.9K 14.9K 1.8K
                                    

Tok..tok..maapkan bertamu tengah malam..hehe... Buat yang udah tidur lanjutin aja tidurnya, besok pagi masih bisa dibaca kok. Buat yang masih bangun...enjoyy...

RENDRA

Kami duduk berdampingan di sofa menghadap jendela, menatap hujan yang turun sedemikian derasnya. Cangkir berisi teh yang masih mengepul panas ada di tangan. Aku meneguknya pelan, dan langsung merasakan sensasi hangat yang nyaman di perutku. Tadi aku sudah menandaskan satu set menu American breakfast yang dipesankan Nadia lewat room service selagi aku mandi, sementara dia sudah cukup puas degan sepotong croissant keju kesukaannya.

"Kenapa kamu mau datang? Apa Elang nggak marah kamu pergi tengah malam sendirian menjemput mantan?" Aku menanyakan hal yang sedari tadi membuatku penasaran. Karena aku dulu nggak semurah hati itu. Nadia menghirup teh hangatnya pelan lalu mengedikkan bahu santai.

"Enggaklah. Elang nggak egois, dia baik dan sangat pengertian." Aku mendengus mendengar jawabannya. Kedengarannya seperti sosok sempurna yang sangat membosankan.

"Sangat pengertian sampai membiarkan kamu menginap di kamar hotel bersama mantan yang sedang mabuk?" sindirku kesal. Nadia menoleh ke arahku dengan wajah serius.

"Ren, urusanku dengan Elang biar jadi urusanku. Aku datang karena rasa tanggung jawab, karena aku akan merasa sangat bersalah kalo nggak datang dan ternyata terjadi hal buruk sama kamu. Aku nggak mau hidup dalam penyesalan. Jadi aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja."

"Lantas kenapa kamu nggak pulang semalam? Setelah memastikan aku tiba di hotel dengan selamat?" Aku menatapnya tajam, berusaha mencari setitik rasa peduli di matanya yang bening.

"Karena kamu menahanku," jawabnya tenang namun membuatku kebingungan.

"Kamu pegang tanganku sambil berulang kali bilang agar aku jangan pergi. Kamu nggak mau lepas tanganku sebelum aku janji," lanjutnya.

Aku terpaku, nggak punya bayangan sama sekali tentang kejadian semalam. Ya Tuhan, pasti tingkahku sangat memalukan.

"Sorry," ucapku lirih.

"Aku bisa saja pergi setelah kamu benar-benar tertidur. Tapi aku terlanjur janji, dan aku bukan orang yang nggak menepati janji."

Seperti kamu. Mungkin itu lanjutan kalimat Nadia. Dia nggak mengucapkannya tapi tetap saja aku merasa tertohok. Aku meletakkan cangkirku di meja lalu menyugar rambutku kalut.

"Aku bajingan ya, Nad. Aku sakitin kamu begitu dalam," bisikku dengan suara bergetar. Nadia hanya menatapku dalam diam lalu helaan napasnya terdengar.

"Kamu lihat hujan itu?" Dia mengedikkan dagunya pada rintik-rintik yang tersisa karena hujan mulai reda.

"Tadi deras, sekarang sudah mulai reda. Mungkin begitu juga rasa sakit yang aku rasakan. Awalnya sangat berat, tapi seiring berjalannya waktu rasa sakitnya mulai berkurang. Aku pikir sudah sepenuhnya hilang, tapi saat melihat kamu lagi di acara reuni, ternyata masih ada luka yang tersisa." Nadia tersenyum sendu lalu kembali menghirup teh hangatnya pelan.

"Tapi kamu tenang saja, aku sedang berproses. Jangan khawatir tentang aku. Aku baik-baik saja. Jangan pernah berpikir kalo kamu punya hutang yang harus kamu tebus. Hutang adalah kewajiban, dan aku bukan kewajibanmu. Mungkin kita hanya butuh menerima kalo kita memang nggak berjodoh. Dulu kita mengakhiri hubungan kita dengan buruk, jadi sekarang let's end things on a good note."

Dari Balik Jendela (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang