Masih ada yang bangunkah? Hehe...enjoyy...
Rendra sudah duduk di tempat yang sama saat aku melangkah masuk ke dalam cafe. Di hadapannya sudah ada segelas minuman maka saat melintasi meja kasir aku menyempatkan diri memesan segelas es teh manis untukku sendiri karena rasanya aku butuh minuman dingin untuk meredakan hatiku yang panas.
"Sendirian aja, Mbak Nad? Elang nggak ikut?" tanya petugas kasir sambil mencatat pesananku.
Aku memang cukup sering makan di cafe ini bersama Elang. Biasanya kalau Elang sedang di toko dan dia lapar, aku akan mengajaknya ke sini. Semua karyawan cafe mengenal Elang karena bocah itu memang menggemaskan.
"Iya, di rumah dia. Aku mau ketemu orang, urusan kerjaan," jawabku seadanya. Setelah selesai memesan aku melanjutkan langkah menuju meja Rendra.
"You lied to me, didn't you?" Rendra langsung menodongku dengan pertanyaan begitu aku duduk di hadapannya.
"Dan atas dasar apa kamu menuduhku berbohong?" tanyaku jengkel.
"Aku ingat kamu nggak pake cincin waktu di hotel, sekarang juga kamu nggak pake cincin," ucapnya tenang. Aku memilin jemariku yang polos tanpa cincin, berusaha menyembunyikan rasa gelisah.
"Kebetulan aja aku lepas. Nggak harus dipakai setiap saat, kan?" Aku membela diri.
"Kamu nggak sedetik pun melepas cincin dariku selama kita bertunangan, Nad," dengusnya.
Dia benar tentu saja, dulu aku begitu bodoh hingga sangat bangga memakai cincin darinya.
"Itu dulu, orang bisa berubah. Sekarang aku nggak begitu nyaman pakai cincin," elakku. Rendra masih menatapku tak percaya.
"Kamu nggak akan menciumku kalo kamu sudah punya calon suami, Nad." Dia kembali berargumen.
"Aku mabuk, jadi nggak sadar apa yang aku lakukan. Dan kamu yang menciumku duluan," ucapku tajam sementara dia hanya mendengus.
"Kamu cukup sadar sampai bisa ingat siapa yang mencium duluan. Dan nggak masalah siapa yang mencium siapa, yang pasti kita berciuman. Panas, basah, melibatkan lidah dan sebagainya. Kalo calon suami kamu tahu apa yang kira-kira akan dia pikirkan?"
"Oh, sekarang kamu mengancamku, Ren?" Aku menatapnya sengit.
"No, karena aku cukup yakin kalo calon suami kamu itu cuma fiktif yang kamu karang hanya agar aku menjauh. Yang tentu saja nggak akan terjadi." Ia balas menatapku tanpa gentar sementara aku hanya bisa menghela napas lelah.
"Terserahlah, buat apa juga kita berdebat? Lagipula aku punya calon suami atau nggak bukan urusan kamu. Dulu kamu yang memilih untuk pergi, Ren. Jadi kamu nggak punya hak untuk ikut campur dalam hidupku lagi."
"Bagaimana kalau aku menyesalinya dan ingin kembali?"
Aku ternganga sambil geleng-geleng kepala. Nggak habis pikir dia bisa menanyakan itu dengan begitu santainya.
"Kamu pikir aku mau menerima kamu kembali setelah apa yang kamu lakukan padaku dulu? Asal kamu tahu, aku masih sangat membenci kamu bahkan sampai detik ini. Jadi jangan mimpi di siang bolong, Ren." Nadaku mulai meninggi tapi wajah Rendra terlihat tetap tenang.
"Lalu kenapa kamu punya tato elang di leher kamu?" Kali ini pertanyaan Rendra membuatku terpaku. Refleks tanganku menyentuh ke belakang leher, tempat tato mungil itu terukir.
"Kamu membenciku tapi kamu menorehkan secara permanen di tubuh kamu sesuatu yang sangat identik dengan aku. Why is that?" Rendra menatapku tanpa berkedip sementara aku berusaha menghindari tatapannya, takut kegelisahanku terbaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Balik Jendela (COMPLETED)
عاطفيةNadia Sasmita Sandhi menyukai jendela. Baginya bingkai jendela seperti sebuah layar tempat dia bisa menyaksikan berbagai macam cerita. Dia suka hanya duduk diam menatap dunia melalui sebuah jendela. Narendra Sangkala Surya adalah tokoh utama yang s...