7. Mulai terbiasa

2.8K 623 45
                                    

Istighfar jangan lupa dan sholawat.  Semoga suka..

Menyebalkan namun bikin candu.

7. Mulai terbiasa


"Lo mau ke sini? Sendiri atau sama Bunda?" tanyanya dengan nada sedikit ngegas.

Legi sedang duduk di teras rumah Kyai Ibrahim sambil bertelpon ria dengan sepupu sohibnya siapa lagi kalau bukan Zaid. Tubuhnya tersender , matanya menatap beberapa warga yang lewat didepan rumah kakeknya. Sangat tenang.

"Tolongin gue lah, gue disini niat liburan malah disuruh jadi guru. Mana ada santriwati baru rese lagi sama gue!" omel Legi lagi, hidupnya yang awalnya tentram tiba-tiba saja menjadi tidak aman sejak kehadiran gadis bernama Putri itu.

Bahkan saat memikirkannya saja, kepala Legi sudah pusing.

Legi mengeluh pada Zaid, Zaid juga bingung. Zaira sudah lumayan besar pikirnya, mungkin ia akan menanyakan anaknya itu apakah ia mau mengikuti pesantren kilat.

[ Nanti deh Gi gue pikirin dulu, nanya si Zaira kali aja mau masuk pesantren kilat. ]

Legi menghela nafasnya pelan, ia juga pikirnya. Zaira sudah berumur tiga tahun dan pesantren kilat menerima santri atau santriwati cilik dari umur tiga sampai dengan sebelas tahun.

"Ayolah Id, gue risih tau direcokin mulu sama tuh cewe. Gak punya malu sama sekali ngejar gue, cantik sih mukanya tapi sifatnya itu loh bikin gue greget!"

Mendengar hal tersebut, Zaid tertawa. Dari perkataan Legi yang risih tapi sedikit memuji, sepertinya akan ada benih cinta pikir Zaid. Zaid sangat mengenal Legi, Legi adalah tipikal yang sering diperhatikan. Jika gadis itu terus-terusan memperhatikan dan membuat ulah, maka sudah dipastikan saat dimana gadis itu menyerah maka Legi yang akan mengejarnya.

[ Jangan gitu, kalau dia jadi kalem nanti lo malah terpesona! ]

Legi tersenyum remeh, cewek centil seperti Putri jadi kalem? Mustahil pikir Legi.

Legi mendumel dengan puas. Mengungkapkan rasa kesal dan amarahnya akibat suruhan Kyai Ibrahim yang menurut Legi tidak masuk akal tatkala menyuruhnya mengurus gadis bar-bar itu. Mereka berdua asik telponan , hingga Legi pun tidak sadar bahwa Kyai Ibrahim telah berdiri disampingnya mendengarkan obrolan kedua cucunya yang sedang bergibah.

"Dosa yang paling nikmat dan banyak membawa manusia ke neraka adalah gibah, paham cucuku?" sindir Kyai Ibrahim tiba-tiba membuat Legi serta Zaid yang ada di telepon terdiam.

Legi menoleh ke arah kakeknya, lalu tersenyum simpul. Ia menyeringai dan menatap kakeknya dengan wajah tanpa dosa. Merasa tidak melakukan kesalahan. Kyai Ibrahim menghela nafasnya pelan. Umur Legi sudah hendak menginjak dua puluh tiga tapi kelakuannya tidak pernah berubah dari ia berumur empat belas tahun.

"Sini HP-nya, Kakek mau bicara sama Zaid!" ujar Kyai Ibrahim lagi. Zaid mendengar hal itu, hendak mematikan telfon tapi takut kualat.

Legi berpikir sebentar sebelum akhirnya ia menyerahkan handphone miliknya kepada Kyai Ibrahim. Dengan raut kepo Legi memasang pendengarannya dengan tajam.

"Kenapa liatnya gitu? Sana kamu! Kakek mau bicara dulu sama Zaid," usir Kyai Ibrahim pada Legi yang seakan tau niat busuk cucunya.

Legi menatap aneh kakeknya, memikirkan seribu alasan agar ia bisa mendengarkan percakapan itu dengan halal!

"Itukan HP Legi," dumelnya kesal karena sudah ketahuan kepo. Kyai Ibrahim menatap Legi tak percaya saat cucunya mengucapkan nada yang terbilang tinggi.

Tepung Legi In Love [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang