20. Mog

87 14 85
                                    


Seorang anak lelaki mengintip dari dinding kaca Oasis. Ia berniat menyusup ke dalam rombongan tour anak remaja di dalam. Ia merapikan rambut jabriknya, berikut kemeja flanel yang dipaksa muat di badan gempalnya.

“Mog, apa yang kau lakukan di sini? Ibu mencarimu ke mana-mana.”

Seorang wanita paruh baya menghampiri dengan permen lolipop dalam genggaman. Ia tersenyum, menyodorkan permen itu ke arah Mog. Sedetik kemudian, wajah wanita itu dipenuhi darah. Jatuh telentang dengan luka tembak di beberapa bagian tubuh. Mog kecil mematung. Robot Patron233 terlihat di balik punggung sang ibu setelah wanita itu jatuh terkapar. Masyarakat sekitar berlarian, menyelamatkan diri, tapi mengabaikan Mog yang tersudut. Tembakan terdengar beberapa kali, terlihat beberapa robot terbang sambil melepaskan peluru bertubi-tubi.

Mog mengalihkan pandangan pada robot miliknya yang kini berdiri di depan, mengacungkan senjata yang sedikit berasap setelah melepaskan peluru ke arah sang ibu.

“L-Lisa apa yang ....” Mog kecil gemetar ketika robot itu mendekat. “Lisa, hentikan!”

Lisa tak mendengar perintah. Cahaya merah muncul dari matanya, memindai Mog kecil yang kini mengompol. Senjata mirip minigun di tangan robot itu berputar, mengisi peluru, bersiap menembak.

“Keberadaanmu mengancam Bumi. Kau harus dihancurkan,” ucap Lisa dengan suara kerobotannya.

Belum sempat ia mencerna ucapan Lisa, suara tembakan lantas terdengar nyaring di udara, Mog menutup mata dan terlonjak bangun dengan teriakan lolos dari mulutnya. Kini ia terduduk di sofa dengan keringat dingin membasahi kerah baju. Napasnya menderu. Matanya menatap sekitar, Kort terlihat duduk di sofa satunya, terbangun akibat teriakan Mog.

Lelaki gempal itu mengusap wajah.

“Mimpi buruk lagi?” tanya Kort membuka percakapan.

“Itu bukan mimpi.”

Entah sudah berapa kali mereka terbangun seperti itu. Dibangunkan kenangan masa lalu yang tiba-tiba hadir dalam tidur, tidak pernah jadi hal yang menyenangkan bagi Mog. Ia menutup wajah, terisak. Meski telah sepuluh tahun berlalu, ingatan itu masih tersimpan segar dalam memorinya, menghantui setiap tidur, memberi pesan tentang luka dan penyesalan akibat tidak mampu berbuat apa-apa untuk menyelamatkan sang ibu.

Dengan hati-hati, Kort duduk di sebelahnya, mengelus halus punggung lelaki itu, mengirimkan rasa aman bagi jiwa Mog yang tak pernah berhenti dihantui rasa bersalah. 
Mog memang terlalu muda waktu Peristiwa 5/5 terjadi. Tumbuh menjadi saksi kematian sang ibu dan menyaksikan pembantaian oleh para robot membuatnya harus berjuang mengatasi trauma, bahkan sampai saat ini.

“Tidak apa, Mog. Kau aman.”

Kort kini menarik tubuh gempal itu dalam pelukannya. Jauh di dalam hatinya, api rasa bersalah tak pernah padam. Seharusnya, ia bisa mencegah pembantaian itu terjadi.

Pagi hari cukup dingin di bawah sini. Setelah Mog merasa baikan, mereka melakukan aktivitas pagi seperti biasa.

Mog berendam dengan air hangat pada bath up untuk menenangkan pikirannya. Beberapa kali ia meletup-letupkan gelembung sabun yang memenuhi bath up ditemani bebek karet kuning yang dulu ia dapatkan dari merampok. Sesekali ia memencet perut bebek itu sampai terdengar suara cemprengnya.

Mog tertawa. Sudah lama ia tidak mandi di bath up, sudah lama pula ia tak bermain bebek karet. Tidak ada bath up di markas sebelumnya.

Ia menghela napas, menatap kamar mandi yang cukup mewah ini. Bath up, televisi hologram, dindingnya yang seperti kaca memantulkan bayangan dirinya dari berbagai sudut, hingga tombol-tombol aneh di sisi bath up.

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang