7. Surprising News

208 53 191
                                    


Tretan mengedip-ngedipkan mata ketika sebuah cahaya putih yang menyilaukan menusuk pupil birunya. Tangannya terbentang di depan, menghalangi cahaya. Ia menebar pandang ke seluruh tempat sebelum bangkit dari sofa tempatnya berbaring.

“Ah, tentu. Aku tidak sedang bermimpi,” gumamnya sembari menopang dagu.

Keyko berlari ke arah pemuda itu, kaki depannya menopang di sofa sementara lidah menjulur dan menggonggong kecil ke arah Tretan. Bulu putih keemasannya yang halus berayun seperti tirai sutra yang ditiup angin.

“Ah, syukurlah kau sudah bangun!” Mark muncul dari belakang dengan semangkuk air hangat dan lap kecil di dalamnya. Ia menaruh mangkuk itu di meja depan sofa, kemudian mematikan lampu belajar yang tadi menyorot Tretan. “Aku tidak tahu bagaimana membangunkanmu, jadi kusorot wajahmu dengan lampu ini. Apa yang terjadi?”

“Seharusnya aku yang bertanya begitu.”

“Oh, ya. Kau tiba-tiba mengerang memegangi kepala di mobil, hidungmu keluar darah, dan kau pingsan.”

“Aku tidak seharusnya di sini.”

Mark megedikkan bahunya. “Maaf, aku tidak berani mengantarmu ke rumah sakit. Itu tempat yang mengerikan.”

Tretan menghela napas berat. Pikirannya berkecamuk antara sedih dan senang. Ia tidak jadi menyelamatkan Profesor Rizal dari ledakan, tapi mesin waktu yang ia ciptakan berhasil membawanya ke masa lalu. Meski ia masih tidak yakin di masa mana ia berada.

“Aku sudah mencari berita tentang ledakan gedung putih. Eh ... mungkin kau salah. Tidak ada ledakan hari ini.” Mark mengusap tengkuknya, mata amber-nya melirik Tretan yang masih termenung. “Yah, kurasa itu kabar baik untuk--”

“Tanggal berapa sekarang?”

Mark melirik jam dinding, kemudian mengedikkan bahunya. “Eh, 16 Agustus. Kau pingsan cukup lama sejak jam 10  tadi. Aku takut kau bukannya pingsan, tapi semacam koma, jadi aku membangunkan--"

“Terima kasih banyak, Mark,” ucap Tretan datar.

Mark tersenyum tipis. “Tentu. Kau mau kembali beristirahat? Atau perlu sesuatu?”

“Tidak. Aku baik-baik saja.”

Tretan menyisir rambutnya dengan sela-sela jari, seketika matanya melirik Chip Watcher yang melingkar di tangan.

Denpasar, Bumi, 16 Agustus 2043. 02.35

Matanya mendelik menatap tulisan merah pada gelang hitam itu.

***
DEVISAR, 26 JULI 2070
15.20

Ken melangkah ke arah Soni R278. Atap cermin yang memantulkan bayangan ruangan itu  bergeser ke belakang. Ia hendak masuk kalau saja suara tegas Luna tak menghentikannya.

“Aku ikut denganmu, Profesor.”

Ken melirik wajah yang penuh keyakinan itu, menatapnya sejenak sebelum menghela napas.

“Tentu. Kurasa kita akan membutuhkan tenaga medis.”

Ken mengedikkan kepalanya ke arah mobil, mengajak Luna.

Senyum semringah terpatri di wajah wanita berambut pirang itu. Ia mengambil  dan melingkarkan Chip Watcher di pergelangan, kemudian berjalan cepat ke arah lemari di belakang Soni, mengambil sebuah kotak putih dengan lambang diamond di salah satu sisinya.

“Kalau tenagaku akan dibutuhkan, berarti kotak ini juga,” ucapnya sambil menjinjing kotak P3K itu.

Keduanya memasuki mobil, Ken menekan jempolnya pada layar hitam di tengah stir berbentuk huruf U itu.

Selamat datang, Profesor Arkenzi. Semoga perjalananmu menyenangkan.” Suara wanita kerobot-robotan terdengar dari dalam mobil bersamaan dengan bergeraknya atap cermin itu ke depan, menutup.

“Astaga. Segala hal yang dibuat adikku jadi terasa mengerikan. Aku penasaran berapa banyak sidik jari yang ia kenali,” ujar Ken setengah terkejut.

Sesaat ketika atap cermin itu menutup, tombol-tombol hologram muncul di hadapan Ken. Tombol yang mengatur tempat dan waktu tujuan. Tombol hologram yang berpendar itu menjadikannya satu-satunya sumber cahaya, membuat keadaan dalam mobil remang-remang.

“Cermin dua arah, eh?” ujar Luna sembari memperhatikan Soni dan Lucy dari balik kaca.

Ken mengatur tujuan perjalanannya, kemudian melirik waktu dan tempat yang ditunjukkan Chip Watcher-nya saat ini, sebelum menekan tombol hologram berwarna hijau, membuat mobil itu bergoyang sedikit, mencari keseimbangan.

Roda kecil mobil itu masuk ke dalam lambung mobil.

“Aku belum siap, Profesor!” teriak Soni, tapi tak terdengar sama sekali.

“Pasang sabuk pengamanmu, Luna. Kurasa akan ada banyak guncangan.”

Luna segera menyelipkan tangan pada kedua tali di sisinya, kemudian memasangkan kunci tali itu ke arah berlawanan, menyilang di badan. Mirip seperti pengaman wahana berbahaya di pasar malam atau hiburan sejenisnya.

“Baiklah. Kita mulai.”

“Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Dr. Soni, Profesor,” ucap Luna setengah khawatir. “Kurasa ia belum siap.” Ia memeluk kotak P3K yang ada di pangkuan.

“Tidak masalah. Kita bisa mengatur perjalanan sendiri. Perangkat yang dikendalikan Soni untuk mengatur mesin ini, hanya pilot cadangan.”

Mobil itu mendesis ketika Ken menyetujui tujuannya dengan menekan Ok pada tombol hologram.

Mobil itu berputar cepat, mengaduk isinya. Luna menutup matanya sedangkan Ken memegang kemudi kuat-kuat. Pemandangan di luar mobil itu mendadak tak beraturan, ruang laboratorium itu seperti membengkok, tersedot, dan menghilang digantikan kegelapan. Mobil itu berhenti sejenak. Luna membuka mata, napasnya menderu melihat tak ada apa pun di luar sana selain kegelapan yang pekat. Ia memalingkan pandangan ke arah Ken yang balik memandangnya. 

“Apa kita sudah sam--”

Blet! Dalam satu kedipan, badan mereka terhentak keras. Soni R278 tiba-tiba menabrak setumpukan sampah di sebuah gang buntu dan terperosok ke dalamnya. Atapnya terbuka, membebaskan asap yang terjebak di dalam bersama Ken dan Luna.

Ken melepas sabuk pengamannya sebelum turun dan membantu Luna yang masih terjebak. Keduanya berlutut di tanah sambil terbatuk sebelum menyandar pada tembok kumuh di gang sempit itu.

“Kau tidak apa?” Ken mengusap punggung Luna, yang masih terbatuk keras. Wanita itu segera merogoh inhaler dari dalam kotak P3K, kemudian menghisapnya.

Mata hazel Ken menatap Chip Watcher lekat-lekat, berusaha mencari tahu keberadaannya.

Delapan angka nol berjejer dan berkedip merah pada menu tanggal, diikuti tanda silang pada menu tempat.

“Sial!” gerutu Ken. Ia segera bangkit dan menoleh ke dalam Soni R278. Tak ada satu pun petunjuk yang memberitahu keberadaan mereka. Ken menempelkan jempolnya pada tengah stir. Namun, pemindai sidik jari itu tetap bergeming. Mesinnya mati.

“Luna, Ken, apa itu kalian?” suara lembut seorang wanita mengagetkan keduanya. Membuat mereka melirik ke ujung gang.

Seseorang dengan kursi roda tampak berjalan mendekat, didorong seorang wanita berambut pendek di belakangnya. Kehadiran mereka membuat Ken meloncat cepat ke Luna, menyembunyikan wanita itu di balik punggung tegapnya.

“Sudah kuduga, kalian nyata,” kata seorang wanita tua yang duduk di kursi roda dengan senyum lebar yang membuat matanya menyipit.

Ken memandangi wanita tua dengan kursi roda itu dan wanita di belakangnya secara bergilir. Matanya awas dengan postur waspada.

“Selamat datang, aku telah menunggu kalian selama sepuluh tahun,” ujar wanita tua itu.

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang