Mark memutar pisau di sela-sela jari dengan hati-hati. Pemuda itu berusaha mengikuti apa yang Tretan lakukan. Namun, butuh keterampilan untuk melakukannya. Beberapa kali pisau terjatuh hingga berdenting di atas meja, membuatnya mendesah pelan.
Matanya menyapu sekitar sebelum berhenti menatap dapur kantin yang berdinding kaca, membuatnya bisa melihat kegiatan wanita-wanita di baliknya. Dapur memang dibuat berdinding transparan supaya mudah dipantau. Dalam situasi tertentu, cara wanita-wanita itu menghidangkan makanan bisa jadi suatu pertunjukkan tersendiri bagi ilmuwan yang sedang melepas penat di kantin itu.
Dengan menggunakan pelindung rambut, sarung tangan, masker, dan baju khusus, wanita-wanita itu meracik bubur di atas mangkuk yang berkrim vanila.
Mark memperhatikan setiap wanita. Matanya menyipit mencari sosok yang dicari tak terlihat kehadirannya.
"Di mana kau, Stella?"
***
Tretan melepas jas putihnya, melilitkan pada goresan kecil di hasta yang menerbitkan cairan merah dari guratan-guratan biru abstrak di bawah kulitnya.
Tok! Tok! Suara ketukan pintu pada bilik toilet sedikit mengagetkannya. Badannya menegang, menunggu tanda-tanda dari orang yang mengetuk.
"Koko, kau di dalam? Ini aku, Mark. Kau baik-baik saja?"
Tretan mengerjap, suara berat itu membuatnya menghela napas lega.
Mark menempelkan telinga pada pintu putih itu, berusaha mendengar kehadiran seseorang di balik pintu. Ia melirik bilik sebelah, kosong. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal sebelum mengetuk lagi akibat tidak ada jawaban.
"Halo?"
"Iya, Mark. Aku baik-baik saja." Tretan menjawab cepat. Mata sebiru samudra itu menatap hasta yang terus mengalirkan cairan merah di balik lilitan jas putihnya. Pikirannya kalut penuh kebimbangan perihal cara menangani baretan kecil yang cepat atau lambat dapat merusak jaringan kulit lain di sekitarnya.
"Kubawakan kau perban dan obat merah." Mark berjinjit sedikit sebelum mengulurkan tangan ke atas, menggapai langit bilik toilet Tretan yang tak beratap. Tangannya menggenggam segulung perban dan obat merah yang dilemparkan ke dalam bilik melalui langit-langit. "Kurasa tisu toilet tidak bisa digunakan untuk membalut luka."
Hap! Tretan menangkap kedua benda itu. Matanya melirik benda itu dan hasta yang terlilit jas putih secara bergilir. Ia menghembuskan napas lega. Tentu membalut hastanya dengan perban lebih masuk akal daripada melilitkan jas putih yang menyembul tebal. "Terima kasih, Mark." Ia dengan cepat membuka gulungan jas. Nampak segores luka tadi kini menganga lebih lebar dari sebelumnya.
Lelaki itu meringis ketika obat merah menyentuh jaringan kulit. Matanya menatap lamat-lamat luka yang kini berhenti mengeluarkan cairan merah dari celah. Tretan membelalak. "Ini bekerja!" serunya berbisik. "Kau sungguh hebat Profesor Rizal!" Cahaya matanya seketika redup sesaat setelah menyebut nama Profesor Rizal yang sampai saat ini masih belum ia selamatkan. "Maafkan aku," bisiknya lemah pada diri sendiri.
"Kita harus kembali lima menit lagi, Koko. Apa lukamu cukup parah?" Mark berkata dari balik pintu.
Tretan dengan segera membagi segulung perban itu menjadi dua. Bagian yang lebih sedikit ia lipat membentuk persegi panjang seukuran luka sebelum melumuri dengan obat merah, lalu menempelkannya pada luka. Bagian perban yang lebih panjang dililitkan pada hasta, membalut perban kecil tadi. Setelah selesai, ia mengenakan kembali jas putihnya, menyembunyikan perban di balik lengan panjang jas.
Brak! Kemunculan Tretan dari balik pintu yang terbanting membuat Mark tersentak. Mereka berdiri berhadapan, dan saling menatap untuk beberapa saat. Mark seperti terkunci dalam keindahan mata samudra Tretan yang berkilat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light-worker
Science Fiction[ORIGINAL STORY] Tretan Arkara berusaha menyelamatkan Profesor Rizal dari ledakan di White Building yang melenyapkannya. Dengan menciptakan mobil waktu, Tretan hendak kembali ke masa lalu dan mencegah ledakan. Namun, bukannya membawa Tretan ke waktu...