14. Fiction-monger (2)

129 32 211
                                    


Tretan mendesah pelan sebelum menjatuhkan tangannya yang menggenggam remote TV ke sofa. Ia tengah sibuk mencari berita tentang mobil waktunya yang mungkin diberitakan sebagai barang hilang yang ditemukan—setidaknya itulah yang terjadi jika seseorang kehilangan barang di semestanya, mereka menyiarkannya untuk menemukan pemilik barang, bukan mengambilnya. 

“Mark, apa tayangan televisi memang seperti ini?” tanya Tretan setengah berteriak.

Sudah dua puluh menit ia menekan-nekan tombol remote TV, tapi tak ada satu pun berita yang menayangkan barang hilang.

Mark mengedikkan bahu. “Televisi memang membosankan belakangan ini,” balas Mark yang juga setengah berteriak dari dapur. Sesaat kemudian, ia memegang dua mangkuk mi rebus di kedua tangan, lalu berjalan ke arah Tretan.

“Ambillah,” pintanya sambil menyodorkan mangkuk milik Tretan.

“Mi rebus?”

“Kau menghilangkan kartu identitasku, sekarang aku tidak punya uang untuk membeli makanan enak,” ucap Mark sembari mengambil posisi duduk di sebelah Tretan.

Alis kecokelatan itu terangkat. “Lucu, kalian menamai kartu itu kartu identitas sedangkan benda itu bisa digunakan untuk transaksi.” Tretan menggerutu tak cukup pelan, membuat Mark mengernyit--memandangi pemuda di samping akibat gerutuannya yang tak masuk akal.

Kartu identitas itu bukan hal yang baru di tempatnya. Namun, Tretan menggerutu seolah ini adalah kali pertamanya mengetahui tentang kartu itu.

“Terserah kau saja.” Mark menyeruput kuah mi dari sendok, berusaha mengabaikan gerutuan Tretan.

Keduanya lantas sibuk memandang layar segi empat yang sedang menayangkan berita. Ribuan massa terlihat memadati sebuah gedung dengan banyak undakan di depannya. Terlihat seorang orator berbadan jangkung berdiri di undakan teratas, memegang pengeras suara dan berorasi penuh semangat sambil sesekali mengepalkan tinjunya ke udara. Topi hitam yang melekat di kepala membuat wajahnya tak terlihat jelas. Namun, jaket jeans tanpa lengan dan ripped jeans yang disertai sepatu Converse membungkus kaki, cukup membuat Tretan mengernyit.

Lelaki itu terlalu kaya untuk seorang tunawisma.

Seruan sang orator digemakan oleh ribuan massa di depannya. Meski kata tak terdengar jelas, tapi semangat terasa jelas di setiap seruannya.

Ratusan tunawisma memadati kantor DPRD di berbagai daerah di Indonesia. Mereka melayangkan tuntutan pada pemerintah terkait isu pembasmian tunawisma besar-besaran,” lapor seorang reporter perempuan.

“Untung kita pulang lebih awal. Kalau tidak, bisa terjebak macet.” Mark berkata dengan mulut penuh makanan, membuat pemuda di sebelahnya mengernyit jijik.

“Apa maksudnya ‘pembasmian tunawisma besar-besaran’?”

Mark menenggak segelas air sebagai tanda berakhirnya aktivitas makan. “Itu hanya berita palsu yang disebarkan orang yang tak bertanggung jawab.”

Tretan mengalihkan pandangannya lagi ke layar segi empat itu, menatap tayangan demonstrasi. “Bagaimana kau tahu bahwa itu berita palsu?”

Mark menegakkan badan, menyandarkan punggung ke punggung sofa. "Tunawisma-tunawisma itu hanya cari sensasi. Setelah demo, mereka pasti meminta jaminan ini-itu pada pemerintah. Mereka berharap negara menghidupi mereka tanpa mereka perlu bekerja. Licik sekali. Padahal, masih banyak orang di luar sana yang bekerja keras untuk hidup.” Mark menggeleng pelan. “Kau lihat mereka,” ucapnya sambil menunjuk demonstran yang terekam kamera. “Badannya masih bugar, tapi sangat malas. Dasar gelandangan."

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang