Devisar, 26 Juli 2070
19.07"Lucy!"
Soni mengejang dari kursi tempatnya tertidur.
"Selamat sore, Dr. Soni," sapa Lucy ketika lelaki berkulit gelap itu mendelik cepat.
"Kau dengar sesuatu?" tanya Soni, panik.
"Ya, suara dengkuranmu."
"Aku mendengkur?" Soni mengerutkan kening, berpikir sejenak. Mendengkur menjadi hal aneh baginya, karena selama ini ia tidak pernah tidur mendengkur--setidaknya itu yang dikatakan ibu dan istrinya--bertolak belakang dengan pengakuan Lucy. Soni menggeleng, berusaha mengabaikan soal dirinya mendengkur, mungkin dirinya memang sedang sangat lelah setelah berjam-jam menunggu kedatangan rekan-rekannya. "Kurasa aku mendengar suara Tretan memanggilmu," ucapnya kembali menyambung percakapan.
"Mungkin kau hanya bermimpi, Dr. Soni."
Soni menggaruk rambut tipis di dagu. "Benarkah? Aku sangat yakin aku mendengar Tretan memanggilmu." Mata cokelatnya melirik Lucy. "Kau bisa tampilkan koordinat Tretan?"
Layar hologram itu berkedip sebelum menampilkan titik merah di sebuah petak.
"Hei, dia pindah posisi. Baguslah anak itu masih hidup." Alis hitam Soni mengangkat sebelah. Asumsi dan opini berkeliaran di dalam pikirannya. Jika Lucy mampu melacak keberadaan Tretan bahkan di dimensi lain, bukankah itu berarti mereka berdua terhubung? "Aku jadi ingin mengobrol dengan Tretan, aku sangat merindukannya." Ia berusaha memancing wanita hologram itu.
"Sayangnya, itu tidak mungkin. Dr. Tretan tidak menyediakan fitur untuk mengobrol pada Chip Watcher."
"Kau yakin? Apa tidak ada cara lain?" selidik Soni.
Tidak ada jawaban dari Lucy untuk sejenak. Mata cokelat hologram itu sesaat beradu pandang dengan mata cokelat Soni.
"Akan kucoba." Suara kerobotan itu mengakhiri percakapan keduanya.
***
Denpasar, 16 Agustus 2043
15.25Tretan tak henti-hentinya menarikan jari kanannya di atas meja. Ia tak mau kemampuannya menggerakkan tangan kanan itu lagi-lagi hilang. Semakin lama semakin keras bunyi gemelatuk jari dengan meja.
Mark menaruh sebuah botol kecil di atas meja kemudian meluncurkannya ke arah Tretan.
Tretan menangkap botol kecil itu, masih termenung.
"Baik. Jadi, bisa kau jelaskan apa yang terjadi?" Mark mengusap dahinya yang berkeringat. Ia menatap tajam lelaki di depan yang menunduk menatap tangan kanan yang tak henti menari.
Tretan sibuk memikirkan nasibnya. Sesaat setelah ia gagal menghubungi Lucy tadi, ia segera beranjak menuju gang sempit tempat Mark menemukannya tergeletak pingsan. Ia mencari-cari mobil waktu yang ia pikir seharusnya ada di sana, di gang buntu itu. Namun, hanya ada sebuah tempat sampah yang teronggok kosong, diam menyambutnya.
Tak lama berselang, dua orang lelaki muncul di belakang Tretan, menghampiri dan menahannya di gang.
"Lihat apa yang kita temukan!" kata lelaki bertubuh gempal dengan rambut jabrik. Matanya memindai Tretan yang masih terbalut jas putih.
"Kau mencari sesuatu, Profesor Muda?" lelaki dengan codet di pipi menimpali.
"Tidak, kurasa aku melihat seorang teman berjalan kemari," dusta Tretan lancar. Ia menengadah, menatap kedua lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya. Tretan melontarkan senyum kaku sebelum hendak melewati kedua lelaki itu dan kembali ke Oasis. Namun, kedua lelaki itu menariknya kembali, membuat tubuh Tretan terbanting ke tanah.
"Tidak semudah itu, Profesor." Lelaki bercodet menyeringai.
Tretan bangkit. "Hei, aku tidak punya apa pun yang kalian butuhkan. Oke?" Tretan mengangkat kedua tangan.
Lelaki berambut jabrik itu melirik dua kaleng minuman di saku jas Tretan dan tanpa basa-basi, ia merampas keduanya. "Dua kaleng teh strawberry?" Keduanya tegelak. "Anak gadis mana yang hendak kau berikan minuman ini, Sayang?" godanya, menyeringai menampilkan gigi kuning di depan, membuat Tretan dengan susah payah menahan diri agar tak mengernyit jijik. Itu bukan gigi emas, tapi memang menguning karena tak terawat.
"Yah, kalian bisa mengambil itu. Sampai jumpa lagi." Tretan berjalan melewati kedua lelaki itu.
Belum sempat melangkah lebih jauh, ujung jas putihnya ditahan lelaki berambut jabrik. Tretan diam, berusaha terlihat tenang.
Kedua preman itu lalu berdiri di hadapannya. "Kami belum selesai, Profesor. Kurasa mereka akan membayar banyak untuk seorang profesor muda," ujar lelaki bercodet sambil menyeringai.
Preman berambut jabrik menahan tangan Tretan ke belakang. Lelaki bercodet mematik api untuk menyalakan rokok tembakaunya.
"Hei, Tuan. Aku masih anak-anak. Kau tidak boleh berasap dekatku!" protes Tretan.Lelaki bercodet mendekatkan wajahnya, lalu menghembuskan asap tepat di wajah Tretan, membuat pemuda itu menutup mata dan menahan napas. "Kami juga masih anak-anak ketika seniormu menciptakan virus aneh dan membunuh keluarga kami."
Tretan mengernyit.
Lelaki bercodet itu merogoh saku Tretan lebih dalam, hingga menemukan sebuah kartu identitas. "Dr. Mark." Ia memandangi foto pada kartu lalu Tretan secara bergilir. "Oh, apakah kau asisten barunya?"
"Kau mengenalnya?"
"Ilmuwan bodoh itu?" Lelaki bercodet itu tertawa."Hampir seluruh kota mengenal keidiotannya! Menciptakan robot? Bodoh! Yang benar saja!"
Tretan tersentak. "Bagaimana kau tahu? Bukankah itu harusnya jadi rahasia?"
Lelaki bercodet itu menghisap lagi rokoknya, lalu menghembuskan asap ke langit-langit. "Yah, katakanlah aku diberitahu mereka yang kecewa."
"Mantan asisten Mark," gumam Tretan. "Kau mengenal mereka?"
Lelaki bercodet itu melirik Tretan dari sudut matanya. "Kau tidak pernah baca berita, ya!" jawabnya kesal.
Tretan mengangkat sebelah alis, membuat lelaki bercodet itu menghela napas berat. "Katakan padaku apa yang direncanakan ilmuwan bodoh itu." Ia menumpu badannya pada sebelah tangan yang bersandar pada tembok gang.
"Aku tidak mengerti maksudmu, aku baru jadi asistennya pagi ini." Tretan melirik mata lelaki bercodet itu lalu ujung gang di belakangnya secara bergilir, seolah memberi tanda bahwa ada seseorang di belakang lelaki bercodet itu.
Lelaki bercodet itu berbalik. Dengan cepat sepatu boots Tretan menginjak kaki lelaki bertubuh gempal yang memeganginya, membuat lelaki itu memekik dan melonggarkan cengkeramannya. Tretan membebaskan tangannya dan berlari cepat ke ujung gang, lalu berbelok ke arah Oasis ketika lelaki bercodet terlambat menyadari tipuannya.
Bruk! Badannya menghantam badan seseorang sesaat setelah memasuki lobi gedung. Tubrukannya tak cukup kuat, hingga keduanya masih berdiri tegak.
"Maafkan aku," ucap Tretan menunduk, tanpa melihat sosok yang ditabraknya, sebelum beranjak.
Lelaki berkumis dan brewok tipis yang dimintai maaf itu mematung, matanya mengikuti Tretan yang berjalan ke lift.
***
Tretan memasuki ruangan Mark tanpa membawa minuman ataupun kartu identitasnya. Mark mendudukkan lelaki itu ketika napasnya masih terengah. Ia melirik lengan kanan jas Tretan yang berisi bercak darah baru. Ia mengambilkan sebotol kecil obat merah dan meluncurkannya di meja ketika lelaki itu sibuk memastikan tangan kanannya tidak mati rasa lagi.
"Baik. Jadi, bisa kau jelaskan apa yang terjadi?" Mark mengusap dahinya yang berkeringat. Ia menatap tajam lelaki di depannya yang menunduk menatap tangan kanannya yang tak henti menari di atas meja.
"Aku dirampok. Bukan hal besar," jelasnya singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light-worker
Science Fiction[ORIGINAL STORY] Tretan Arkara berusaha menyelamatkan Profesor Rizal dari ledakan di White Building yang melenyapkannya. Dengan menciptakan mobil waktu, Tretan hendak kembali ke masa lalu dan mencegah ledakan. Namun, bukannya membawa Tretan ke waktu...