Tretan duduk di kursi belakang bus. Berusaha tidak terlihat mencolok--meski keadaan bus tidak terlalu ramai. Ia memegang tangan kanan, lalu tanpa sengaja melirik sosok ibu dan anak di depan. Sukmanya tersentil melihat keakraban anak lelaki dengan sang ibu. Tretan tak pernah merasakan yang seperti itu.
Tanpa sadar air matanya menggenang. Cepat-cepat ia seka sebelum jatuh meluah.
Perhatiannya dialihkan lagi ke tangan kanan. Tretan berkonsentrasi untuk menggerakkan jari, mencegah tangannya kehilangan kemampuan motorik. Salah satu jari berkedut, perlahan bergetar hingga mampu bergerak sesuai keinginannya.
Tretan menarik sebelah sudut bibirnya. “Sudah seperti robot yang kehabisan baterai saja.”
Bus berhenti tak jauh dari Oasis. Gedung merah-putih itu masih saja terlihat ramai. Lampunya berpijar lebih terang dari lampu jalan di sekitarnya.
Tretan bergerak cepat menuju gang--yang ia ingat Mark katakan--tempat dirinya ditemukan. Gang buntu yang terapit tembok bata itu hanya diterangi sebuah lampu neon redup di tengahnya.
Tretan bergidik, langkahnya mundur sedikit, mulai ragu menerobos kegelapan. Ia melirik kiri-kanan sebelum beralih ke Chip Watcher. Tretan merapat ke tembok, mengusap halus Chip Watcher di tangan kanan yang menjuntai ke bawah. Matanya awas, memastikan tak ada yang melihat perbuatannya.
Layar hologram mencuat dari gelang. “Selamat malam, Dr. Tretan Arkara.” Suara program itu membuatnya mengejang. Buru-buru ia mengotak-atik menu, mematikan voice guide sebelum menekan icon lampu di layar.
Sedetik kemudian, cahaya terang terpancar dari gelang, menyorot ke depan. “Untung aku tidak pernah melupakanmu, Flashy.”
Ia mengatur napas berusaha meredam ketakutan. Dalam satu tarikan napas panjang, Tretan melangkah cepat, ingin segera menyelesaikan urusannya dengan kegelapan. Ia tiba di bawah lampu neon, mengembuskan napas panjang lalu menyenter ke kegelapan sebelum sesekali mengejang akibat suara knalpot nyaring terdengar dari jalanan.
Terdengar suara geraman. Ia menyenter ke atas dengan cepat. Seekor kucing melompat ke arahnya, Tretan mundur ke belakang hingga punggung menghantam keras sisi tempat sampah. Namun, segera kembali berdiri tegap.
Tretan memejam, mengumpulkan keberanian. Namun, ia membuka lagi matanya sebelum keberanian terkumpul penuh. “Ah, sial! Menutup mata pun aku tak berani.”
Ia bersiul, berusaha memecah kengerian yang mencekik sambil memindai sisa gang dengan senter. Tak ada tanda-tanda keberadaan Luna R277.
Tretan mendongak, melirik setitik cahaya merah di atas. Kamera CCTV terpasang di sudut. Ia hendak mendekat. Namun, urung ketika bayang-bayang seram muncul lagi di pikirannya.
“Hantu itu tidak nyata! Hantu tidak nyata!”
Bulu romanya seketika berdiri, merasakan kehadiran seseorang di belakang. Ia berbalik, berteriak lantang sebelum mulutnya dibekap, diseret ke belakang tempat sampah. Kumpulan tikus bubar ketika badan Tretan tengkurap di bawah, menggelempar ditindih seseorang yang lebih besar darinya.
“Ssstt! Diamlah!” Itu suara seorang lelaki. Tretan makin menggelempar, berusaha membebaskan diri. “Diam atau kau akan dalam bahaya,” bisik lelaki itu penuh ancaman. Sebelah tangannya tanpa sengaja mengusap Chip Wacher, membuat senternya padam.
Tiga orang lelaki berbadan bongsor muncul dari ujung gang, menyeret seorang wanita. Mereka berdiri di bawah lampu redup, mencuri fokus Tretan. Seorang dari mereka memiliki tato mawar di lengan, tampak familier bagi Tretan. Ia ingat, itu preman yang menggoda wanita di halte.
Sosok lelaki yang menindih Tretan melongggarkan bekapannya karena mendapati pemuda itu tak melawan.
Ketiga preman itu merampas perhiasan sang wanita. Menggeledah tas jinjing yang dibawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light-worker
Science Fiction[ORIGINAL STORY] Tretan Arkara berusaha menyelamatkan Profesor Rizal dari ledakan di White Building yang melenyapkannya. Dengan menciptakan mobil waktu, Tretan hendak kembali ke masa lalu dan mencegah ledakan. Namun, bukannya membawa Tretan ke waktu...