24. An Alarm Alert

56 14 46
                                    

Akhirnya pilihan telah dipilih.

Setelah merumuskan solusi, Tretan muncul dari balik pintu diikuti Ken dan Luna. Kedua pemilik rumah yang sedang menonton televisi sambil menunggu mereka itu seketika menoleh ke arahnya.

“Kalian sudah selesai dengan konspirasinya?” tanya Clarissa tanpa memalingkan wajah dari televisi.

Televisi berbentuk persegi panjang yang setipis kertas itu sedang menampilkan wawancara dengan seorang lelaki yang  wajahnya sangat familier bagi ketiga penjelajah dimensi itu. Seketika, Tretan menahan dirinya agar tak berteriak heboh. Matanya lantas melirik mata Luna yang tak sanggup menyembunyikan keterkejutannya.

Kemunculan tayangan televisi berhasil membuat ketiga penjelajah dimensi itu mengabaikan pertanyaan Clarissa. Ken hanya melirik sekilas tayangan itu sebelum matanya beralih pada wajah sang adik yang rautnya bercampur aduk. Ada raut kegembiraan, kesedihan, sekaligus harapan terukir jelas.

Menyadari pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban, Clarissa melirik ketiga penjelajah dimensi itu. Sedikit kaget melihat mereka yang terpaku pada sosok di layar televisi. Ia lantas meneliti makna dari sorot mata mereka.

“Ada apa? Kalian mengenalnya?” Pertanyannya itu berhasil membuat perhatian ketiga penjelajah itu teralih padanya.

Untuk sesaat, tidak ada jawaban yang terlontar. Tretan dan Luna menunggu Ken menjawab pertanyaan itu karena takut salah bicara. Namun, Ken tak berniat sama sekali memberikan penjelasan apa pun. Tidak pada wanita yang berharap ramalan penjelajah waktu menjadi nyata. Dalam hening yang canggung, Clarissa menaikkan sebelah alisnya, memberikan kode pada mereka kalau ia sedang menunggu jawaban.

“Sir. Revano,” jawab Tretan untuk memecah diam yang cukup lama tercipta di antara mereka.

Jawabannya itu berhasil menciptakan reaksi yang berbeda pada orang-orang yang berada di ruangan itu. Clarissa tersenyum tipis. Sebuah senyum kemenangan yang ditujukan pada Ken. Sedikit demi sedikit, ramalan penjelajah waktu itu akan terjawab. Di sisi lain, Ken dan Luna bersusah payah menyembunyikan keterkejutannya akan Tretan yang tau terlalu banyak, tapi Luna tak seahli Ken.

Luna mengernyit. “Siapa katamu?” tanyanya, berbisik.

Tretan mendekatkan bibirnya pada telinga Luna. “Dia adalah ilmuwan hebat di sini.” Ia berhenti sejenak untuk menunjuk sosok di televisi. “Bukankah dia sangat mirip dengan Profesor Rizal?” Ia naikkan kedua alisnya secara bergilir. Ada kilatan penuh harap dari sorot matanya ketika memandang sosok lelaki di televisi. “Mungkin kita bisa minta tolong padanya.” Ide itu ia tujukan pada sang kakak.

“Tidak.” Ken menjawab mantap hingga tak bisa dibantah. Raut wajahnya yang keras dengan perlahan menghapus kilat harap di mata Tretan.

Mengetahui sifat adiknya, Ken mulai khawatir kalau ramalan penjelajah waktu itu benar adanya. Ia tahu, Tretan akan melakukan sesuatu yang berisiko mengingat rasa bersalahnya pada Profesor Rizal yang hingga saat ini belum sirna dengan sempurna.

“Kau tahu cukup banyak, ya ....” Clarissa memancing. Entah sejak kapan perang dingin tercipta di antara dirinya dan Ken. Saling menunggu bukti ramalan sang penjelajah waktu.

Kami, para ilmuwan sangat berusaha keras mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Akan ada penemuan hebat untuk medukung tujuan kami.” Lelaki dengan kumis dan jenggot tipis itu tersenyum di dalam layar televisi.

Kilatan kagum tak bisa disembunyikan Tretan dari matanya. Sosok Sir. Revano dan Profesor Rizal tak jauh berbeda. Keduanya dengan lihai merebut hati pemuda itu. Dedikasinya pada ilmu pengetahuan juga kesejahteraan masyarakat membuat sosok ilmuwan besar itu menginspirasi Tretan untuk terus melampaui dirinya.

“Apa lagi kali ini ....” Nenek Bel yang sejak tadi terdiam akhirnya buka suara. “Kuharap bukan ide bodoh membuat robot. Kita bisa celaka.” Terdengar seperti sebuah komentar ketakutan, tapi sesungguhnya itu adalah sebuah pancingan. Nenek Bel sedang mengukur riak ombak.

Sesuai dugaan, ucapannya itu lantas mengundang tatapan penasaran dari Tretan. Meski lelaki itu mengetahui tantang sejarah pembantaian oleh robot, namun ia benar-benar tak menyangka Peristiwa 5/5 yang telah terjadi sepuluh tahun lalu itu masih meninggalkan trauma bagi sebagian orang. Setidaknya itu yang ia percayai.

“Maaf, apa ini menyangkut trauma atas Peristiwa 5/5?” tanya Tretan.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan sang adik, Ken berkata dengan tegas, “Cukup, Tretan! Cukup!” Amarah terlihat jelas di mata hazel-nya yang berkilau. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Tretan tidak boleh tahu lebih banyak mengenai apa pun di semesta ini atau adiknya itu akan ikut campur dengan masalah yang terjadi.

“Trauma?” Clarissa memutar bola matanya sebelum melirik tajam Tretan yang menunggu jawaban, tapi wanita itu tak kunjung melanjutkan perkataannya.

“Tidak akan ada yang menciptakan robot,” Nenek Bel berkomentar, “aku yakin para ilmuwan itu bahkan tidak tahu cara merakitnya. Menciptakan robot sama dengan mengundang perang.”

“Apa maksudmu? Apa kalian selama ini tidak tahu kalau televisi yang kalian tonton juga termasuk robot?” Nada bicara Tretan terdengar tak terima akan komentar penentangan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan yang dilontarkan Nenek Bel.

Keempat pasang mata di ruangan itu kini terfokus pada Tretan. Clarissa sedikit kesal mendapati pemuda itu bersitegang degan sang ibu. Sorot kekesalannya terpancar sangat tajam hingga darah di bawah kulit Tretan bergetar. Sedangkan Nenek Bel, wajahnya terlihat sangat tenang mengetahui Tretan berhasil memakan umpannya.

“Ayo, kita pergi sekarang!” Ken berusaha mengakhiri pembicaraan ini.

Ada rasa bersalah yang terbit di dada Tretan setelah Clarissa memalingkan wajahnya. “Maafkan aku ...,” lirihnya ke arah kedua pemilik rumah sebelum hendak beranjak.

“Akan ada pertumpahan darah,” ucap Clarissa, membuat Tretan berhenti di tempat. “Jika mereka menciptakan robot, akan ada yang terluka.” Ia melirik Tretan. “Begitulah yang dikatakan penjelajah waktu itu,” jelasnya.

Wajahnya dibuat tampak kesal dan kecewa. Namun, melihat reaksi Tretan yang sesuai dugaannya, senyum Clarissa mengembang di awang-awang. Lelaki berambut keemasan itu tampak terdiam sesaat. Matanya berkilat khawatir. Clarissa tau, Tretan mengetahui sesuatu dan ia peduli dengan hal itu.

“Kita harus cepat temui temanmu agar kita bisa pulang dengan segera!” Ken mendesak sang adik agar lelaki itu tidak terlibat obrolan lebih lanjut.

Untuk sesaat, Tretan terdiam memproses segala informasi yang diperolehnya. “Kau benar, Kak. Kita harus cepat menemuinya.” Ia lantas melangkah tergesa-gesa. Pikirannya hanya tertuju pada Mark yang saat ini sedang mengerjakan proyek Tesla. Jika apa yang dikatakan Clarissa itu benar, maka Tesla tidak boleh diselesaikan. Pesan penjelajah waktu itu pasti bukan pesan palsu.

Ketika Tretan beranjak ke luar, raut ketenangan masih terpatri jelas di wajah Nenek Bel, sedangkan Clarissa secara terang-terangan tersenyum sinis ke arah Ken. Itu adalah senyum yang seolah menantang Ken untuk membuktikan ramalan itu salah. Masa depan akan seperti apa yang penjelah waktu itu katakan dan Ken tidak bisa melakukan apa pun.

Darah mendidih di bawah kulitnya, Ken segera menyusul Tretan sebelum sang adik melakukan sesuatu di luar dugaan yang dapat membuat mereka terjebak lebih lama di sini.

Atmosfir ruangan pun terasa aneh bagi Luna yang sama sekali tak memahami situasi.

***

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang