Embusan napas yang semakin memendek beradu di tengah angin malam. Sepasang boots-nya menyalip semakin cepat ke arah sembarang. Berbelok di setiap persimpangan, berusaha menghilang di ujung jalan ketika pria di belakang mempercepat langkah. Rambut keemasannya berkibar tersapu angin. Sesekali ia menarik napas melalui mulut, menambah pasokan oksigen lebih banyak ke paru.
Tretan menyibak kerumunan pejalan kaki, menabrak beberapa sebelum melompati parit, terbirit ke tengah jalan hingga kendaraan berdecit karenanya. Namun, pria ber-hoodie masih mengejar di belakang.
“Berhenti! Tunggu!” Pria ber-hoodie itu mempercepat langkah. Tangannya terjulur, berusaha menggapai Tretan. Ketika tangannya hendak mencapai bahu di depan, pemilik bahu menikung ke kiri. Terus berlari di tengah jalan remang kecil yang terapit gedung, hingga langkahnya terhenti mendapati tembok besar memutus jalan.
Tretan berbalik dan dengan tiba-tiba pria ber-hoodie itu sudah di depannya, menjatuhkannya lalu mengunci badan Tretan, mengapit dengan kedua paha.
“Kenapa kau mengejarku?!”
“Kenapa kau berlari?” Pria ber-hoodie itu balik bertanya.
“Kau gila! Orang gila, Kort!”
“Dengar, Cyborg!” Kort mencengkeram kerah jaket pemuda di bawahnya. “Aku bisa membantumu!” bisiknya sengit.
“Berhenti memanggilku Cyborg!” Tangannya balik menggenggam hoodie pria di atasnya.
“Lalu harus kupanggil siapa? Koko?” Wajahnya mendekat. “Atau Tretan?” Seringai muncul di wajah tegas itu, melihat lelaki di bawah menatap kaget.
Entah keberanian dari mana, Tretan meluncurkan tinju dengan ice bag di genggaman. Namun, tangan kanannya jatuh terkulai sesaat sebelum ice bag itu menyentuh kulit lawannya.
Kort menyeringai. “Sayang sekali.” Ia dengan cepat mengeluarkan benda persegi panjang dari kantung di bagian tungkai celana.
Drrt! Setrum menjalar dari leher Tretan membuat pandangan lelaki itu mengabur. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat sepasang kaki gemuk terbalut sepatu putih berhenti di depannya. Namun, kegelapan segera mengambil alih sebelum Tretan mampu melihat wajahnya.
***
Tretan membuka mata perlahan.
Ia diam sejenak memandang langit-langit hingga kesadarannya mengumpul. Matanya mempelajari ruangan berdinding besi ini, tabung reaksi di meja, dan dua lelaki di balik komputer.
Ia meringis ketika ingatan mulai menyerang kepala. Badannya segera mengejang hendak bangkit dari tempat berbaring, tapi sebuah besi melingkar di pergelangan, menahannya ke brankar.
Raut wajahnya berubah panik.
“Kort! Lepaskan aku!”
“Kort? Siapa?” Pemuda bertubuh gempal di samping Kort mendongak dari kursi, melirik laki-laki di sebelahnya sebelum memutar bola mata. “Sial! Kau mengganti namamu lagi?” protesnya, "Hey, Ke--"
“Kort. Panggil aku Kort.”
“Itu nama yang buruk!” Lelaki bertubuh gempal itu memutar kursi, berbalik menghadap layar komputernya setelah mendapat tatapan sinis dari Kort sebagai respons terhadap aksi protesnya.
Kort melangkah ke arah Tretan. “Tidak perlu marah begitu.” Klik! Dia menyalakan lampu tepat di atas pemuda itu, membuat Tretan menarik wajah ke samping, memejam, melindungi manik birunya dari silauan cahaya. “Aku memperbaikimu,” ucap Kort, dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light-worker
Science Fiction[ORIGINAL STORY] Tretan Arkara berusaha menyelamatkan Profesor Rizal dari ledakan di White Building yang melenyapkannya. Dengan menciptakan mobil waktu, Tretan hendak kembali ke masa lalu dan mencegah ledakan. Namun, bukannya membawa Tretan ke waktu...