27. The Fortune Teller

67 13 65
                                    

Setelah para penjelajah dimensi tidak lagi berada di satu ruangan dengan mereka, Nenek Bel menatap sang anak sambil tersenyum. “Aku harap apa yang kita lakukan sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka membantu kita.”

Clarissa mengangguk.

“Aku ingin merebahkan diri dan beristirahat sebentar.” Kursi rodanya meluncur ke kamar berkat alat pengendali di pegangan kursi.

“Tunggu, Bu.” Clarissa bangkit dari duduknya, mengambil sesuatu di laci, dan menyerahkannya pada Nenek Bel.

Senyum teduh merekah di wajah keriputnya. Sang ibu terdiam sesaat sambil memandang hangat anak perempuannya itu. “Kau ingin meramalku?”

“Tidak. Aku ingin kau meramalku.”

Sudah bertahun-tahun ibu dan anak itu bergelut dalam dunia meramal. Meski Nenek Bel dulunya merupakan peramal yang ulung, tapi keahliannya belum diturunkan dengan baik ke anaknya. Saat masih muda dulu, Nenek Bel memilliki banyak klien. Tak hanya meramal, ia juga membantu banyak orang untuk memulihkan batin, sembuh dari trauma, dan menyalakan kembali harapan dari mereka yang putus asa, atau hanya sekadar mencari jawaban atas pertanyaan yang sedang menghantui.

Banyak orang yang merasa terbantu dengan keahlian Nenek Bel. Banyak yang kembali ceria, banyak yang memandang hidup dengan penuh pengharapan, dan banyak luka batin yang berhasil disembuhkan. Meski demikian, Nenek Bel tidak pernah menganggap hal tersebut berkat dirinya. Ia hanyalah perantara. Alam semesta-lah yang bertanggung jawab atas kesembuhan dan kemakmuran para kliennya.

Namun, sejak Periswa 5/5, entah kenapa wanita itu kalah akan takdir. Tembok keteguhannya rubuh bersama asa, menjadi puing-puing yang berhasil membutakan akal. Menyaksikkan suaminya dibantai habis-habisan menyisakan trauma yang cukup mendalam baginya dan bagi Clarissa. Tidak ada lagi kebenaran yang mampu dilihat akal. Tidak ada lagi pengharapan yang menerangi sukma. Akibat ketidakmampuannya mengatasi takdir yang menimpa, Nenek Bel pun diserang penyakit lupus yang mengharuskannya duduk di kursi roda hingga saat ini.

Sebab frustrasi melewati hari-hari yang kelam, saat itu Nenek Bel hendak terjun ke sebuah sungai deras bersama Clarissa kalau saja ia tak dihentikan seorang misterius berbalut jubah yang mengaku berasal dari masa depan.

Dalam keputusasaan, kehadiran penjelajah waktu yang membawa pesan untuk mereka telah membuka matanya akan sebuah alasan tak masuk akal yang berhasil membuatnya bertahan hidup hingga sekarang. Tak dapat dipungkiri, kini alasan tak masuk akal itu terwujud di depan matanya.

“Kau bisa melakukannya sendiri, Anakku.”

Clarissa menggeleng. “Aku rasa aku belum siap.”

“Kau selalu siap, Anakku.” Bagi Nenek Bel, meramal adalah soal menajamkan intuisi, peka terhadap energi yang dikirimkan alam semesta, dan percaya akan pesan yang diterima. Ia percaya, sejak lahir, setiap manusia sudah diberkati oleh kemampuan itu. Hanya saja, beberapa hal membuatnya jadi tak terasah dan terpendam dalam diri, apalagi di era yang serba canggih seperti saat ini, di mana orang-orang tidak memercayai hal yang tidak bisa mereka lihat.

Clarissa, menurutnya sudah memenuhi dua syarat pertama dari tiga hal tersebut. Tak dapat dielakkan kalau sebenarnya Clarissa masih memendam ragu dalam diri sebab ada trauma yang masih belum sembuh. Nenek Bel selalu berusaha meyakinkan sang anak atas kemampuannya, berusaha menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri Clarissa. Memang tidak ada hal sejenis penghargaan bagi peramal terbaik, tapi jika ada, maka Nenek Bel yakin, Clarissa-lah yang berhak mendapat penghargaan itu, ketika dirinya sudah menguasai seni ‘percaya’. Ia dapat melihat bakat itu memberontak ingin keluar dari diri Clarissa.

Berkat ucapan itu, Clarissa lantas mengganti permintaannya. “Kalau begitu ...,” dengan gesit, ia membelah, membalikkan, dan melipat kartu dalam genggaman sebelum menyapukannya di meja dengan satu tangan. Membuat kartu-kartu itu berjejer rapi membentuk busur, “silakan pilih kartumu.”

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang