22. Up in The Air

55 14 47
                                    

Hai, haii. Sejak aku yang jarang update, aku yakin hanya sedikit dari kalian yang mengingat elemen-elemen cerita ini. Hahaha, gapapa-gapapa :D

Untuk itu, pada akhir chapter aku akan ngasi tau kalian chapter ini terhubung dengan chapter yang mana. Tidak hanya chapter ini, tapi juga chapter setelahnya.

Jadi, pastikan kalian membaca sampai kata dalam setiap chapter habis ya! :D

Enjoy!

Semua orang di rumah ini masih sedikit kaget dengan apa yang mereka alami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua orang di rumah ini masih sedikit kaget dengan apa yang mereka alami. Penantian Nenek Bel dan Clarissa yang akhirnya menemui ujung dan fakta bahwa identitas ketiga penjelajah dimensi itu diketahui kedua pemilik rumah, masih sulit dipercaya.

Berkat kebaikan hati Nenek Bel, ketiga penjelajah itu bisa berdiskusi di kamar khusus yang tidak terlalu besar ini, sedangkan kedua pemilik rumah, menunggu di ruang tamu, memberikan ruang bagi ketiganya untuk saling meluapkan perasaan.

Tepat ketika pintu ruangan tertutup di belakang Ken, tamparan keras mendarat di pipi Tretan. “Kau sangat keterlaluan! Bagaimana bisa kau rahasiakan ini semua dari kami?” Dengan wajah merahnya, Luna berkata sengit.

Tangan kanannya masih memegangi pipi, Tretan masih terkejut dengan tamparan itu. “Apa maksudmu?”

“Lucy memberi tahu kami tentang perhitungan keberhasilanmu menjelajahi waktu. Kau sudah tau kalau kau tidak akan berhasil ke masa lalu. Kau sudah tau akan terdampar di sini, tapi tidak memberi tahu kami tentang itu?!” Amarahnya ia luapkan begitu saja. Tidak peduli dengan Ken yang memperhatikan. “Kau bisa saja mati, bodoh!” Air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk. Dengan susah payah Luna menahannya agar tak menumpuk dan tumpah.

Melihat reaksi spontan itu, Tretan tidak menjawab untuk sesaat. Ada perasaan sedih karena telah membuat wanita itu khawatir atas dirinya. Tanpa diperintahkan, tangannya bergerak, menenggelamkan Luna dalam dekapan. “Maafkan aku.” Perasaan kecewa yang dirasakan Luna kini perlahan mengalir ke dalam dirinya. Rasa bersalah dengan berani lantas mengisi relung hatinya.

Luna masih berusaha tegar. Sebelum mengalir melewati pipi, air matanya ia usap. Meski pikirannya sempat kalut, tapi kini hatinya mulai tenang menyadari lelaki bermata biru itu masih bernapas.

Tretan melepaskan pelukan. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.” Ia elus rambut pirang Luna, menyalurkan kasih sayang di setiap sentuhan. Rasa hangat menjalar di bawah pipi Luna. Sebelum hatinya bergetar semakin hebat, ia segera menepis tangan lelaki itu setelah dua kali belaian menuruni kepala. Bagaimanapun, gengsinya harus tetap dipertahankan.

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang