29. Escape II

65 11 39
                                    

Tretan berlari hingga kakinya pegal. Membelah trotoar sepi, hendak menuju ke rumah tempat Luna dan kakaknya berada. Matanya fokus memandang ke depan, kakinya tak sedikit pun memelan meski lemas sudah dirasa. Ia biarkan ketakutan menyetir langkahnya. Pergi menjauh dari gedung merah-putih yang sulit dipercaya. Oasis bukanlah jawaban yang tepat buat berlindung. Bahkan Mark yang ia percayai mungkin sedang terlibat dalam suatu rencana entah apa pun itu.

Sesekali Tretan berhenti untuk menarik napas sebelum kembali berlari, berkejaran dengan waktu.

Pastikan kau tidak terlambat.” Ucapan Mark tak berhenti berputar di kepalanya bagai kaset rusak yang terus memberi makan ketakutan dalam diri. Kalimat tersebut seakan mengundang pikiran-pikiran negatif dari segala penjuru untuk singgah ke kepalanya.

Tidak akan ia biarkan apa pun terjadi pada Luna dan sang kakak. Tidak ada yang boleh menyakiti mereka, atau monster dalam diri Tretan akan terbangun.

Di sela-sela kegiatan berlarinya, lelaki berambut keemasan itu beberapa kali mencoba menghentikan taksi, tapi tak ada yang mau berhenti. Matanya terus menerawang jalan sembari pikirannya mencari jalan keluar untuk tiba di rumah Nenek Bel lebih cepat. Tentu saja tidak mungkin baginya berlari dari Denpasar menuju Kuta.

Beberapa kali ia berusaha meperingatkan Luna dan sang kakak melalui Chip Watcher kalau Mark bukanlah orang yang tepat untuk dimintai pertolongan dan mereka harus segera pergi dari rumah Nenek Bel. Entah apa yang sedang atau akan dilakukan oleh Mark pada mereka. Namun, pernyataan Mark tentang tidak ada orang yang bisa di percaya di Oasis membuat tubuhnya tak berhenti memproduksi hormon adrenalin. Ada perasaan bahaya yang menyelimuti diri Tretan dan ketidaktenangannya semakin menjadi ketika tak ia dapatkan jawaban dari Chip Watcher.

Semilir angin menemani langkah kakinya yang kian melambat. Tretan hendak berhenti untuk kesekian kalinya. Hendak menghirup udara segar untuk ia gunakan sebagai bahan bakar. Namun, matanya menangkap sebuah bis yang hendak berhenti di halte seberang. Dengan melawan rasa lelahnya, sepasang kaki yang dilapisi sepatu boots itu berusaha mencapai halte sebelum bis meninggalkannya. Bis berhenti berhenti tepat waktu ketika dirinya sampai, seolah bis tersebut berhenti untuk dirinya.

Ia naik dengan buru-buru dan memohon pada sopir untuk melajukan bis dengan cepat.

“Jam kedatangan kita sudah terjadwalkan. Tidak akan terlambat dari itu.”

“Butuh berapa lama tiba di halte berikutnya, Pak?”

“Sepuluh menit ke halte berikutnya, sepuluh menit lagi ke halte berikutnya,” ujar sang sopir.

Tretan geram karena tidak tahu ia harus turun di halte mana yang dekat dengan rumah Nenek Bel. Bisa jadi ia harus turun di halte kedua setelah ini, atau halte ketiga. Itu akan memakan waktu dua puluh hingga tiga puluh menit. Memang lama, tapi akan lebih lama lagi jika ia berlari.

Tretan duduk di dekat pintu bis, kakinya tak berhenti bergetar oleh rasa takut. Penumpang bis terlihat tidak begitu banyak, mungkin sebab sekarang adalah hari kemerdekaan hingga penduduk tak banyak yang pergi bekerja. 

Ketika tiba di halte berikutnya, manik birunya tak sengaja menangkap sosok pria jangkung yang duduk behadapan dengan seorang wanita di sebuah restoran. Tretan mengenali sosok lelaki yang memakai kemeja rapi tersebut.

Terakhir kali bertemu dengannya, lelaki itu sangat berantakan dengan ripped jeans. Namun, kali ini ia terlihat sangat rapi dan berpendidikan.

Bahkan ketika bis menginggalkan halte, mata Tretan masih berusaha menangkap sosok tersebut. Hampir tak percaya ia kalau lelaki yang—kalau ia tak salah ingat—bernama Pablo itu, sang preman yang menjual mariyuana pada Kort, kini ia temui lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang