3. Lucy Roise

351 94 244
                                    

Semuanya saling menatap sebelum helaan napas Luna memecah keheningan. Tangannya memegangi kepala yang bersandar pada dada bidang Ken sebelum bangkit dan berdiri tegap, menahan sisa rasa sakit yang masih samar-samar. Semua tetap berada pada tempat masing-masing, mengumpulkan energi.

Tretan memandang Luna sesaat sebelum bergerak cepat ke arah Soni, menatap layar hitam yang tadinya penuh tombol-tombol hologram. Badannya membeku sejenak sebelum suara robot menyadarkannya.

"Melaporkan status." Wajah hologram itu menampilkan sebuah lingkaran biru yang berputar-putar. Semua pandangan mengarah ke arahnya. Suasana senyap hingga detak jantung masing-masing dapat didengar telinga. Beradu cepat seiring waktu.

"Kondisi aman," katanya mengakhiri putaran lingkaran biru pada layar dan kembali menampilkan wajah wanita asia, membuat ketiga pasang mata menyorot bingung ke Tretan. Bertanya-tanya maksud wanita hologram itu.

"Lucy, laporkan kondisi Luna." Ucapan Tretan mengundang tatapan dari pemilik nama.

"Tekanan darah 130/80 mmHg, suhu 36 derajat--"

"Tidak. Laporkan kondisi Luna. Luna R277." Tretan mengkoreksi kata-katanya, membuat seisi ruangan menatap geli ke arahnya. Tawa kecil lolos dari mulut Soni yang susah payah ditahannya.

"Kau menamai mobil itu dengan namaku?" Luna menunjuk yang dimaksud sebelum mengarahkan telunjuk ke dirinya sendiri. Alisnya mengangkat sebelah dengan sudut bibir yang sedikit tertarik membentuk senyum samar. Guratan emosi pada wajahnya tampak sedikit mereda digantikan pipi bersemu.

"Yo! Kurasa dia butuh nama yang selalu diingatnya. Dan Luna adalah nama yang tepat," goda Soni dengan nada yang menggelikan.

Tretan tak mengubris jawaban Soni. Wajahnya berusaha terlihat serius menatap Lucy meski rona merah pada pipinya tak tertahankan. Beruntung saja hal itu tak kentara di ruangan dengan cahaya minim ini.

Zip! Wajah hologram itu berkedip sekali dan menampilkan gambar tiga dimensi. Tretan mendekatkan telunjuk dan menggeser-gesernya, membolak-balikkan sketsa Luna R277, memisahkan bagiannya lalu menyatukan, dan begitu seterusnya. Mata birunya berpendar menatap benda itu dengan serius.

"Apa masalahnya?" Suara serak Ken terdengar gagah terlontar penuh ketenangan. Mata hazel-nya menatap setiap kegiatan bongkar pasang pada sketsa hologram itu sebelum beralih memperhatikan wajah adiknya yang bercucuran keringat.

Tretan tak menjawab. Matanya masih tanpa putus memandangi setiap detail. "Aku tidak mengerti." Kepalanya menggeleng pelan. "Semuanya masih sama saja."

"Berarti mesin itu memang tidak berfungsi. Kurasa kalian harus berhenti!" celetuk Luna, berusaha menghasut.

Tretan hendak mendekat ke Luna R277 waktu tangannya dicengkeram kuat, membuatnya berbalik cepat.

"Berhentilah. Aku mohon."

Mata cokelat wanita di hadapannya berhasil menguncinya sesaat. Kilat kesedihan terpancar jelas dari wajah yang berusaha dibuat garang itu. Ia tahu betul wanita itu sangat khawatir. Lima tahun yang lalu dirinya berhasil membuat Luna menangis ketakutan akibat ledakan yang hampir meleyapkannya. Namun, di lain sisi, Tretan memiliki keyakinan kuat akan peluang dan kesempatan yang ditawarkan oleh mesin itu. Dia tak mau menyia-nyiakannya.

"Sekali lagi. Jangan khawatir." Matanya menyorot yakin disertai anggukan kecil, berhasil membuat Luna melonggarkan cengkeramannya.
Tretan kembali berkutat dengan tombol-tombol dan rumus-rumus dibantu Lucy sebagai asistennya.

Pertama-tama, ia menstabilkan aliran listrik yang terputus lalu menerangi ruangan sebelum mendekati Luna R277 dan memantaunya lebih dekat, bersama Lucy yang selalu melayang di dekatnya.

Sesaat setelah ruangan kembali terang, layar besar dan tombol hologram kembali muncul di hadapan Soni, menampilkan sketsa tiga dimensi dan berubah mengikuti tampilan Lucy.

"Aku heran kenapa Lucy tidak ikut mati," gumam Soni pada dirinya sendiri tidak cukup pelan.

"Program Lucy tidak terikat pada apa pun di tempat ini. Ia membawa programnya dalam dirinya sendiri, tapi tempat ini terhubung dengannya."

Soni menoleh cepat ke arah suara di belakangnya, dahinya mengernyit sesaat, mencerna penjelasan sebelum menggeleng cepat. "Aku tidak mengerti, Profesor," katanya dengan postur membuka kedua tangannya, meminta penjelasan lebih.

"Sepertinya suara bising tadi masih mengganggu kepalamu." Helaan napas berat mengawali kalimatnya, biji mata hazel-nya menerawang ke atas, memikirkan kata-kata mudah untuk menjelaskan. "Sederhananya, Lucy seperti robot tanpa kabel dalam bentuk hologram. Ia mampu memprogram ruangan ini dan mengaturnya karena program ruangan terhubung padanya, tapi apa pun yang terjadi pada ruangan ini tak berpengaruh sama sekali padanya. Karena programnya tidak terhubung dengan ruangan. Kau tahu, Lucy berperan sebagai koboi, ruangan ini adalah kudanya. Ia merdeka."

"Apa hanya ruangan ini?" Luna bergabung dalam obrolan kecil itu.

Ken mengedikkan bahunya. "Entahlah. Dia sangat merahasiakan Lucy sehingga enggan mengajukannya sebagai penemuan untuk gelar profesornya. Dan malah akan menjadikan mobil 'mesin waktu' itu untuk mendapatkan gelar profesornya." Dagunya menunjuk Luna R277 yang masih diteliti dengan seksama.

"Yo! Aku tak menyangka anak kecil ini sehebat itu. Apa gen ilmuwan memang mengalir dalam darah kalian, Profesor? Orang tua kalian pastilah dulunya ilmuwan hebat juga, 'kan?"

Ken mengalihkan pandangannya kembali pada Tretan yang masih sibuk mengurusi mesin itu. Sorot matanya berubah menjadi sangat tajam. Ia tidak menjawab pertanyaan keramat itu. Pertanyaan yang selalu berhasil mengubahnya menjadi lebih dingin.

"Maaf, aku tidak bermaksud." Soni menurunkan nada suaranya, terdengar menyesal.

"Gen tidak berpengaruh banyak pada dirimu. Lingkunganlah yang memiliki pengaruh kuat."

"Tentu, Profesor."

***

Makasi ya udah klik bintang ^^
👇

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang