8. Three Different Dimensions

233 54 235
                                    

DEVISAR, 26 JULI 2070
15.07

"Hei, apa ini! Aku belum melakukan apa-apa," keluh Soni sesaat setelah Soni R278 hilang di hadapannya.

"Sinkronisasi dimensi ...."

Mata cokelat Soni lantas melirik cepat wanita hologram yang melayang di hadapannya. Alisnya terangkat sebelah memandang lingkaran biru yang berputar-putar di layar Lucy.

Sesaat ia menanti, Lucy masih dengan tampilan yang sama.

"Kali ini sinkronisasimu lebih lama, Nona. Apa mereka berhasil?"

Lucy kembali menampilkan wajahnya. "Ya."

"Ah, baguslah. Kurasa tidak ada yang dapat kulakukan selain menunggu mereka kembali." Soni menyandarkan punggungnya ke kursi. "Tunjukkan aku koordinat mereka, Nona Hologram."

Lucy menampilkan sebuah titik merah dengan huruf 'T' yang melayang di atasnya. "Yah, kurasa Tretan baik-baik saja, Anak Kucing itu punya banyak nyawa. Bagaimana dengan Profesor dan Luna?"

"Untuk sesaat, aku tidak dapat menjangkaunya."

"Apa maksudmu? Mereka di tempat dan waktu yang berbeda dengan Tretan?"

Wajah hologram Lucy mengangguk sedikit. "Aku berusaha menjangkau mereka." Matanya memejam. "Sinkronisasi dimensi ...."

Suasana hening sejenak. Soni memandangi wanita itu dengan fokus penuh sampai-sampai lupa berkedip, jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat.

Klik! Mata cokelat hologram itu membuka. "Kuta, Bali, Indonesia, Bumi. 17 Agustus 2043."

***

KUTA, 17 AGUSTUS 2043.
12.45

"Tenanglah. Kami di sini sebagai teman." Wanita tua itu mengangkat rendah tangannya. "Dia anakku, Clarissa." Ia menunjuk wanita yang mendorong kursi rodanya. "Aku Arabel, orang biasa memanggilku Nenek Bel atau dengan membunyikan bel sepeda mereka." Ia tergelak, membuat tatapan waspada Ken semakin tajam.

Luna kembali terbatuk di belakang Ken. Ia menghirup lagi inhaler dalam genggamannya, tapi batuknya semakin keras. Lengkingan batuknya membuat ketiga pasang mata itu menoleh ke arahnya.

"Kurasa temanmu butuh bantuan. Kami punya nebulizer di rumah." Clarissa membuka suara, terdengar lembut, tapi berani.

Ken berbalik, berjongkok dengan sebelah lututnya menopang ke tanah. Tangannya menyangga bahu Luna. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya retoris.

"Untuk seorang ilmuwan, kau cukup bodoh, Profesor," sarkas Clarissa membuat lelaki itu sedikit terperanjat.

Profesor itu terdiam sejenak, memproses gagasan yang berkecamuk di kepalanya. Pergi dengan mereka bisa jadi mengubah banyak hal di masa depan, mengingat ia seharusnya tak mengubah apa pun di masa lalu untuk mempertahankan masa depan yang ia kenal selama ini-meski ia masih tidak yakin di semesta mana mereka berada.

Kondisi Luna bisa jadi bertambah parah jika ia mengabaikan bantuan. Namun, tidak ada yang tahu siapa wanita yang telah menunggu kedatangan mereka sejak sepuluh tahun itu ataupun siapa wanita yang memanggilnya Profesor itu.

Luna mencengkeram kaus merah Ken, membuyarkan pemikirannya. Lelaki itu segera melingkarkan tangan pada punggung dan belakang lutut Luna sebelum berdiri dan berbalik dengan Luna di gendongannya, menatap kedua wanita yang menunggu keputusannya.

"Aku akan sangat berhutang budi pada kalian," ujarnya sambil menundukkan kepala sedikit.

Nenek Bel tersenyum. "Ayo, Nak!"

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang