Mark memasuki ruangan diikuti Tretan, mengenakan jas lab sebelum melemparkan satu ke arah Tretan yang langsung ditangkap.
Bilik dengan luas dua kali lipat dari milik Tretan membuat lelaki bermata biru itu melongo. Sebuah pintu merah tampak di seberang pintu utama, menjadi pemisah antara ruang utama dengan ruang uji coba. Di sebelah pintu, sepetak kaca mengganti tembok putih menempel sempurna. Terdapat tiga buah monitor di depan dengan banyak tombol di bawahnya.
Drrtt! Handphone bergetar di dalam saku celana Mark. "Tentu, akan kuselesaikan sesegera mungkin. Jangan khawatir, Profesor." Mark menutup sambungan telepon dan berjalan cepat ke arah monitor.
"Jadi, apa yang sedang kau kerjakan, Mark?" ujar Tretan di sisi telinga Mark.
"Aku merancang robot baik hati yang akan membantu tugas manusia." Tangannya memutar-mutar sketsa pada monitor layar sentuh.
"Itu keren!" Gagasan muncul di benak Tretan. "Apa kau tidak takut ia akan melukai manusia?" Pria berambut emas itu menatap lurus, menanti jawaban dari gagasan yang selalu menghantuinya.
"Move on, Koko. Kekacauan di masa lalu tidak akan terulang lagi."
Tretan mengernyitkan alis. "Apa?" Kekhawatirannya bertambah.
Mark berhenti dari pekerjaan, menghela napas, lalu berbalik menghadap Tretan. "Peristiwa 5/5 terjadi karena kerusakan sistem. Mesin deteksi robot-robot itu salah menganggap manusia sebagai ancaman." Ia berjalan menuju meja tak jauh di sana, potongan tangan dan kaki buatan tergeletak di atasnya. Ia mengambil sepotong tangan. "Aku mengerti, banyak orang kehilangan saat kerusuhan itu." Matanya redup menatap tangan buatan itu. "Tapi tidak seharusnya peristiwa itu menghambat kita berkembang. Sebaliknya, kita harus terus berevolusi!" Mark mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi.
Tretan mengusap tengkuk perlahan. "Eh, aku tidak begitu tau sejarah." Ia berusaha menggali lebih dalam.
"Kurasa banyak orang memilih untuk melupakan peristiwa itu." Mark menepuk pundak Tretan. "Kau harus hadapi rasa takutmu untuk jadi berani, Koko."
Tretan masih kebingungan, dengan susah payah ia menyembunyikan raut wajahnya. "Tentu." Ia mengangguk kecil, terdiam, memikirkan kata yang akan membuat Mark memberitahu kelanjutan sejarahnya.
Mark tersenyum tipis, membuat Tretan tersentak sedikit.
"Hei, kau mirip kakakku sekilas. Dengan senyum itu." Telunjuknya memantul menunjuk Mark.
"Senyum yang meluluhkan hati banyak wanita ini? Kakakmu pasti tampan sepertiku." Alis Mark naik sebelah.
Keduanya tertawa.
"Tentu, tapi dia agak menyebalkan."
"Semua orang yang peduli padamu memang bertingkah menyebalkan." Mark terkekeh, lalu melanjutkan membedah sketsa pada monitor layar sentuh.
Tretan diam sejenak. Matanya tanpa sengaja melirik dua buah sketsa di depan, mengalihkan pikirannya. Sketsa robot lama juga sketsa baru. Keduanya tampak sangat berbeda. Robot lama memiliki bentuk layaknya seorang manusia, sketsa baru yang dirancang Mark berbentuk seperti alien--setidaknya menurut Tretan--dengan kepala yang lebih besar dan lonjong, tangan dan kaki yang kurus. Tretan melayangkan protes tentang betapa mengerikan bentuk robot yang akan dibuat lelaki itu.
"Aku tidak ingin orang salah mengira robot sebagai manusia. Tentu harus kubuat perbedaannya."
"Dan rancanganmu bisa membuat seorang nenek mengompol di tempat," sarkas Tretan.
Mereka sempat terlibat sedikit perdebatan tentang bentuk robot yang akan dibuat sebelum beranjak memasang dan merangkai badan robot. Sebagai asisten 'sementara', Tretan tidak ingin terlalu mengatur. Ia hanya penasaran dengan sistem robot itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light-worker
Science Fiction[ORIGINAL STORY] Tretan Arkara berusaha menyelamatkan Profesor Rizal dari ledakan di White Building yang melenyapkannya. Dengan menciptakan mobil waktu, Tretan hendak kembali ke masa lalu dan mencegah ledakan. Namun, bukannya membawa Tretan ke waktu...