5. Lost

297 75 263
                                    

DENPASAR, 15 AGUSTUS 2043

Tretan membuka matanya perlahan. Cahaya kuning menerangi sedikit ruangan. Matanya berkedip pelan, memproses keadaan. Ia memandang langit-langit putih yang remang. Berkedip sekali sebelum matanya kembali menutup pelan, terdiam sesaat, lalu dengan cepat ia menarik kelopak mata dari pandangannya. Badannya melonjak bangun. Ia menyingkap selimut, menerawangi sekitar sebelum bangkit sempoyongan. Matanya mengerjap-ngerjap sambil melangkah ke luar ruangan.

Semuanya gelap.

Ia membeku sejenak sebelum menempel pada tembok seperti cicak. Peluh terbit dari pori-pori wajah, meluncur menuruni pipi sebelum jatuh ke lantai kayu. Napasnya tersengal-sengal menerawangi kegelapan, hanya cahaya remang dari ruangan tadi yang sedikit memberitahu soal tangga di hadapannya.

"Sial!" gerutunya. Ia memegangi kepala. Seketika kepalanya terasa berputar tak karuan, mengaburkan pandangan. Ia menggelengkan kepala cepat, menolak rasa pusing itu.

Dengan kaus dan jaket hitam yang masih melekat di badan, ia menuruni tangga sambil terus menempel pada dinding. Dengan perlahan sambil memejamkan mata kuat-kuat dan komat-kamit. Sesekali ia mengintip ke bawah ketika sudah berhasil menuruni satu anak tangga.

"Jangan mengubah apa pun di masa lalu," bisiknya berulang.

Kakinya meraba-raba anak tangga selanjutnya. Namun, semua terasa datar. Ia mengintip sedikit sebelum membuka penuh matanya dengan takut. Pupil biru itu berusaha beradaptasi di dalam kegelapan.

Tretan menghela napas lega ketika menyadari ia telah sampai di akhir anak tangga.

Sebuah tangan tampak menggantung dari sofa, dekat pintu berwarna putih yang cukup terlihat. Tretan beranjak ke arah pintu. Langkahnya cepat dan hati-hati. Ia meraba-raba pintu putih itu dan menggeser kunci, lalu membukanya dengan hati-hati sebelum menyelipkan badan ke luar dan menutupnya kembali. Ia menghela napas lega, seperti habis lolos dari kejaran polisi.

Jalanan malam tidak terlalu ramai. Lampu jalan di sisi kiri dan kanan cukup menerangi. Mobil dan motor terlihat masih melaju di atas aspal. Rambutnya berayun pelan dibawa angin malam yang lembut.

"Kurasa aku pergi terlalu jauh," bisiknya pada diri sendiri.

Suara knalpot nyaring terdengar dari kejauhan sebelum melintas dan berhenti beberapa meter dekat halte.

Lelaki berbadan kekar dengan tato bunga di lengan kanan turun dari motor yang lebih kecil darinya.

"Apa dia tidak kedinginan bertelanjang dada di malam hari?" Tretan mengernyit geli.

Lelaki itu berjalan ke atas halte, mendekati seorang perempuan dan menggodanya. Perempuan berambut keemasan itu terlihat melawan dan berteriak meminta tolong.

Tretan menahan tubuhnya agar tidak bergerak. Ia hanya terdiam, menyaksikan dari tempatnya berdiri. Matanya menerawang ke sekitar, memperhatikan orang-orang yang berhenti dan saling melirik.

Ketika Tretan kembali mengalihkan pandangan pada wanita itu, mata keduanya bertemu. Dengan cepat Tretan menarik pandangannya.

Wanita itu berteriak pilu. Laki-laki bertato itu membopongnya dan mendudukkannya di bagian depan motor berknalpot nyaring itu, lalu pergi. Teriakan wanita dan tawa lelaki itu beradu di tengah angin malam. Orang-orang kembali melajukan kendaraan seperti biasa seolah tak melihat penyimpangan yang baru terjadi.

Tretan menyisir rambut dengan jemari, merapikan jaket kulitnya, dan berjalan menyusuri trotoar sambil melihat-lihat. Tak banyak yang berjalan kaki di tempat ini. Pedagang-pedagang kecil berjejer di pinggir jalan, aroma masakan mengaktifkan sensor pada saraf Tretan yang membuat perutnya bergemuruh pelan.

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang