2. The Machine

483 109 325
                                    

DEVISAR, 26 JULI 2070
14.35

Hari ini datang juga.

Senyum merekah terpatri di wajah Tretan. Penemuannya diuji hari ini.

"Kau yakin dengan ini?"

Sebuah undakan berbentuk lingkaran berada di hadapan mereka. Mobil biru berbentuk oval--lebih mirip kapal selam--terparkir di sana. Dengan atap kaca transparan dan dua buah antena kecil terpasang di bagian depan dan belakangnya. Mobil itu berdiri ditopang tiga roda kecil seperti roda pesawat di bagian depan dan samping.

"Aku sudah memikirkan segalanya, Dr. Soni."

"Bagaimana dengan kematianmu?" celetuk lelaki berkulit gelap itu, mengundang tatapan sinis dari lawan bicaranya.

"Kau sendiri tahu, aku punya julukan soal kematian." Sorot matanya berubah bangga. "Tretan Si Hades." Jempolnya memantul di atas dadanya yang membusung.

"Hanya karena kau pernah selamat dari ledakan, bukan berarti kau dewa! Bagaimana dengan pacarmu? Apa kau tidak mau menenangkannya dulu? Dia terlihat tidak oke, Bro." Mata cokelatnya melirik wanita berambut pirang yang dari tadi diam dengan alis bertaut.

Tretan terkekeh. "Luna tidak apa-apa." Dia memalingkan wajahnya sebelum dengan cepat melirik Soni lagi. "Dan dia bukan pacarku. Belum," bisiknya membuat Soni tertawa kecil.

Lelaki berambut keemasan itu beranjak ke depan setelah selesai mengenalkan perangkat mobil itu pada Soni. Badannya tegap menghadap ketiga orang berjas lab yang memandangnya serius.

"Baiklah. Ini adalah kali pertamaku mencoba ini." Ia mengangkat sebelah tangannya, menunjukkan gelang hitam pada pergelangan. "Kalian bisa mengetahui koordinatku dengan ini." Ia mengusap halus gelangnya. Titik merah muncul pada permukaan gelang. "Lucy!" teriaknya pada langit-langit.

Sedetik kemudian, sebuah hologram berwajah wanita asia muncul di hadapannya. "Selamat siang, Dr. Tretan."

"Tunjukkan koordinatku!"

Zip! Wajah asia itu seketika berubah menampilkan sebuah titik merah di tengah siluet hitam dengan bentuk macam-macam.

"Gelang ini mampu memberi gambaran tentang benda sekitarku sejauh tiga meter."

"Ini keren, Bro." Soni melambai-lambai sambil menatapi siluet yang bergerak mengikutinya.

"Jadi, apa rencanamu?" Suara serak itu terdengar dalam dan tenang.

"Oh, maafkan aku hampir lupa menjelaskannya, Kak. Eh, maksudku Profesor. Eh ...." Tangannya mengusap tengkuk, mata sebiru samudra itu menerawangi keramik putih di bawahnya.

"Tretan, kau tidak punya rencana, bukan?" Suara serak itu mengintimidasi.

"Punya, tentu saja, Kak. Eh, Profesor Ken," katanya tergagap. "Aku kembali ke masa lalu, memastikan mesin ini bekerja, dan kembali ke sini lima menit dari sekarang." Gigi putihnya berderet rapi di balik mulutnya yang tersibak. Ekspresi awkward-nya berusaha meyakinkan.

"Kau tidak boleh bertindak gegebah, Dr. Tretan. Jangan lakukan apa pun yang dapat mengubah masa lalu." Mata hazel-nya menyipit tajam.

"Baik, Profesor. 'Jangan lakukan apa pun yang mengubah masa lalu', aku paham." Tretan menghela napas berat. Biji matanya melirik sekilas Luna yang diam dengan ekspresi mengerikan.

"Dan ada apa di balik kain hitam itu?" Ken menunjuk gundukan kain hitam di pojok ruangan.

"Oh, itu hanya salah satu yang gagal, yang belum sempat kuhancurkan." Tretan melangkah ke arahnya, menyibak setengah kain hitam yang menutupi, menampilkan sebuah mobil yang bentuknya tak beda jauh dengan mobil kapal selam itu. Hanya saja, mobil yang ini berwarna merah.
"Baiklah, kurasa sudah cukup. Kalau kalian kebingungan, tanyakan saja Lucy." Tangannya berkacak pinggang dengan wajah semringah yang seolah bercahaya. "Lucy, kau sudah menyalin dan mempelajari semua hal tentang mobil ini, 'kan?"

The Light-workerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang