Cerita Mentari: 23

433 108 23
                                    

Cerita Mentari

Chapter 23: Heliosentrik

.
.
.

Jika mentari adalah heliosentrik tata surya, maka kamu adalah heliosentrik tata duniaku.

.
.
.

Tiga hari sejak kembalinya Haechan dan Aera ke Korea, keadaan mereka sudah lebih membaik. Rasa lelah dan letih yang sebelumnya terasa pun perlahan hilang.

Dan hari ini, Haechan bersama Aera sudah sepakat untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Jaemin.

Selama menunggu Aera bersiap, Haechan menghabiskan waktu dengan duduk bersandar di sofa. Matanya sesekali melirik ponsel, memastikan tak ada panggilan darurat dari rumah sakit.

Sebenarnya Haechan masih diberikan waktu libur sampai hari ini, jadi ia tidak perlu khawatir akan ada yang menelepon untuk menyuruhnya ke rumah sakit. Namun tetap saja, sebagai seorang dokter, Haechan merasa tak tenang.

Pasalnya, ia sering sekali mengalami situasi di mana dirinya sedang tidak bertugas dan mendapat hari libur tapi tiba-tiba ada pasien yang mengalami kondisi darurat. Mau tak mau Haechan harus segera pergi ke rumah sakit untuk menanganinya.

Hal itu terjadi bukan karena tak ada dokter lagi di rumah sakit. Namun lebih ke alasan tidak ada dokter yang memiliki kualifikasi dan spesialisasi sama di rumah sakit tempatnya bekerja.

Semua dokter memiliki peran yang berbeda dalam menangani keadaan pasien, sesuai spesialisasinya. Maka dari itu, jika ada pasien yang mengalami kondisi di mana Haechan adalah dokter yang memiliki spesialisasi itu, ia diharuskan segera pergi ke rumah sakit untuk menangani kondisi darurat.

Menghela napas pelan, Haechan sedikit bersyukur ketika Aera sudah selesai bersiap dan tak ada satu pun telepon dari rumah sakit yang ia khawatirkan.

Demi menyusul Aera yang telah bergegas ke luar apartemen, Haechan bangkit berdiri, menyambar kunci mobil dan ponsel di atas meja.

Tepat saat tangannya hendak meraih gagang pintu, sebuah rasa sakit muncul. Dadanya sesak, seperti ada sesuatu yang menghimpit di sana.

Napas Haechan memburu, pun dengan kepalanya yang mendadak terasa pusing. Pegangan di gagang pintu terlepas ketika tubuhnya sedikit mundur ke belakang, bersandar pada dinding apartemen.

Mencoba mengatur napas sebisa mungkin agar mampu meminimalisir rasa sakit, Haechan berusaha sekuat tenaga. Ia tahu rasa sakit ini, bahkan sangat tak asing.

Dulu dirinya sering mengalami sakit semacam ini sebelum di operasi. Ia pikir setelah operasi dilakukan, dirinya akan sembuh dan tak mengalami sakit itu lagi. Namun semua kembali terasa sekitar tiga tahun lalu, tepat setahun sebelum ia dan Aera menikah.

Saat itu, dirinya sadar. Kalau ia masih belum bisa menjadi orang baik dengan menjaga apa yang sudah orang lain berikan untuknya.

Haechan akui, ia memang bodoh. Terlebih lagi dirinya adalah dokter. Seharusnya ia tahu apa masalah yang akan terjadi ketika dirinya tak bisa menjaga kesehatan dengan baik walau setelah operasi.

Dokter pernah bilang padanya. Meski Haechan telah menjalani operasi donor jantung, semua itu tak akan berarti kalau ia sendiri tidak bisa menjaga pola hidup sehat.

Dan ya, itulah yang Haechan sesali akhir-akhir ini.

Stres membawa Haechan pada sebuah kehidupan di mana ia lupa pada tubuh yang harus dijaga. Pola makan Haechan tak beraturan, setiap malam selepas pulang dari rumah sakit, ia selalu menghabiskan waktu hingga dini hari untuk minum alkohol.

[2] Cerita Mentari | LHC ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang