Cerita Mentari: 09

500 127 51
                                    

Cerita Mentari

Chapter 09: Kepergian Aera

.
.
.


Malam itu, ketika langit bergemuruh menurunkan jutaan kubik air, Haechan berdiam diri di dalam kegelapan kamar. Sesekali cahaya petir menyinari ruangan gelap itu. Membuat Haechan bisa melihat wajah Aera yang tertidur pulas.

Tidak terasa, dua hari begitu cepat berlalu. Siapa sangka kalau hari kepergian Aera ke Bali akan datang, tepatnya esok. Dan Haechan, sumpah demi apapun, Haechan tidak ingin membiarkan Aera pergi begitu saja. Lebih tepatnya, Haechan tak mau.

Perkataan Jaemin dalam mimpinya selalu terngiang-ngiang. Tentang sesuatu buruk yang akan menimpa gadisnya jika Aera tetap bersikeras pergi. Namun mau bagaimana lagi, bukan kuasa Haechan hingga bisa menghentikan Aera.

Haechan terlalu mencintai gadis itu sampai tak bisa berlaku kasar. Bahkan persoalan membentak Aera dua hari lalu saja selalu Haechan pikirkan sampai sekarang. Setiap pagi selama dua hari dia selalu meminta maaf. Maaf yang hanya Aera anggap angin lalu.

Haechan tersenyum pahit. Ada kesedihan di matanya. Dia tidak tahu kalau mencintai seseorang bisa sesakit ini. Memang apa yang salah dari cintanya untuk Aera sehingga Tuhan tidak membiarkan dia mendapat balasan atas cinta yang dia beri.

"Jaemin, apa aku masih kurang baik di matanya? Kenapa dia tidak bisa melihatku sedikit saja?" tanya Haechan di tengah keheningan malam.

Suara guntur di luar terdengar bersahutan, seakan menjawab pertanyaan yang diajukan Haechan.

Laki-laki itu lalu bangkit berdiri, ingin ke kamar mandi dan membasuh muka, berharap setelah itu dirinya bisa lebih baik. Namun sebelum dia beranjak, sebuah tangan menahannya.

Gerakan Haechan terhenti, dia alihkan pandangan ke Aera yang masih terpejam. Tangan gadis itu menahan Haechan, membuat Haechan diam di tempatnya.

"Jaemin, jangan pergi."

Haechan mematung, matanya menelusuri wajah Aera. Ada keringat di dahi gadis itu, suaranya terdengar ketakutan, serta genggaman tangannya semakin menguat di lengan Haechan.

Ingin sekali Haechan berbicara ke Aera yang sedang mengigau itu, kalau dia adalah Haechan, bukan Jaemin. Namun Haechan tak bisa, apalagi saat menyadari Aera masih tertidur.

Akhirnya dia memilih mengurungkan niat ke kamar mandi, satu tangannya yang menganggur digerakkan menuju helaian rambut di dahi Aera. Mengelus pelan rambut milik istrinya.

Aera menggerakkan tubuh, mendekat ke Haechan. "Jaemin, jangan pergi," mohon gadis itu lagi.

Haechan yang awalnya memilih diam kini mengeluarkan suara, menjawab permohonan Aera. "Aku tidak akan pergi, aku ada di sini, di sampingmu. Jadi tidurlah, aku akan menemanimu."

Tidak tahu bagaimana perasaan Haechan ketika dia menjawab Aera sebagai Jaemin, yang pasti Haechan hanya tersenyum setelahnya. Tangan yang tadi mengelus rambut di dahi Aera sudah berpindah ke bahu gadis itu. Sedangkan tangan yang satu lagi dia selipkan ke bawah leher Aera.

Posisi Haechan sekarang jadi tidur menyamping sambil memeluk Aera. Tidak. Haechan bukannya mengambil kesempatan karena Aera menganggapnya Jaemin, Haechan hanya berusaha untuk menenangkan gadis itu.

"Ra, seandainya dulu aku nggak ada di sana dan ketemu Jaemin, aku mungkin nggak akan lihat kamu." Sambil memeluk Aera, Haechan mulai bercerita, tidak peduli siapa yang mendengar. Dia hanya ingin menumpahkan apa yang ada di pikirannya beberapa hari terakhir ini.

[2] Cerita Mentari | LHC ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang