Nyicil dikit biar gak kelamaan nunggu update-nya
Happy Reading ❤️
_________Bel ditekan satu kali lagi, Janu dan Garin saling pandang. Tanpa mengatakan apa-apa, sudah sama-sama menebak siapa gerangan tamu yang datang. Janu bangkit lalu mengembalikan posisi celananya. Garin pun bangkit lalu mengedarkan mata mencari persembunyian yang aman.
Toilet? Tidak. Bagaimana kalau Gina ingin ke toilet. Kamar Janu? Tidak. Bagaimana kalau Gina masuk ke sana. Di bawah meja tidak mungkin, di balik gorden tidak mungkin.
Janu menunjuk lemari jaket di dekat meja televisi. Ukurannya cukup untuk dimasuki tubuh seseorang. Dekat dan tidak mungkin dibuka Gina. Pun kalau ingin membukanya, Garin bisa memegangi dan Janu bisa beralasan tentang kunci atau sebagainya.
Garin setuju dan menuju ke sana. Janu membantu dengan menggeserkan pintunya hingga terbuka. Ia juga menggeser beberapa jaket tergantung agar lebih banyak ruang untuk Garin duduk.
"Hape udah di-silent?" tanya Janu, setelah Garin masuk dan duduk di sana.
Garin segera menatap ponselnya, seingatnya memang belum disenyapkan. Ia kemudian sibuk mengaturnya. Garin mengangkat muka, saat Janu berjengkeng di depannya.
"Dia gak akan lama," kata Janu tampak sungkan.
Garin tak terlalu peduli sebenarnya. Lagi pula ia sadar kalau dialah pengganggu yang sebenarnya, bukan Gina.
"Gak usah buru-buru," jawab Garin, "nikmati waktu kamu sama dia kayak biasanya. Anggep aku gak ada di sini."
Janu tersenyum dengan masam. Ia menghela napas saat bel kembali berbunyi. Bangkit, lalu Janu menggeser pintu lemari, tempat Garin bersembunyi.
Dalam kegelapan, Garin mendengarkan situasi di luar. Mendengar Janu membuka pintu dan mendengar derap langkah berjalan masuk.
"Kenapa sih, gak mau aku ajak keluar?" suara Gina yang menggerutu adalah apa yang pertama Garin dengar.
"Udah aku gak boleh ke kantor, kamu gak mau keluar juga? Kamu dibilangin apa aja sama mamamu yang cerewet itu?" lanjut Gina.
Garin mendengarnya dengan jelas. Walau hubungannya dengan mama Janu tidak lebih dari bos dan karyawan, tapi ia tidak suka dengan cara Gina menyebut Nyonya Ranti. Mama Janu mungkin terlihat cerewet, tapi beliau orang yang baik. Mama Janu terlihat menyebalkan hanya karena ia orang yang tegas, padahal tidak ada yang salah juga dari ketegasan itu. Kalaupun mengomel atau marah, Nyonya Ranti pasti punya alasan.
"Lagi capek aja, gak ada hubungannya sama Mama," jawab Janu terdengar malas.
"Capek ngapain? Kerjaanmu kan cuma duduk-duduk aja seharian," sangkal Gina masih terdengar kesal.
Hening beberapa saat, entah apa yang mereka lakukan. Selanjutnya Garin dengar suara Janu lebih lembut dan pengertian.
"Kamu kenapa sih? Kelihatannya lagi kesel banget."
"Kesel lah. Males juga di rumah. Mamaku jadi ikut-ikutan ngomel, pasti karena dibilangin sama mama kamu. Kita kan cuma makan siang sebentar. Aku gak ganggu waktu kerja kamu juga, kan? Gitu aja kok semua ngomel."
"Aku kemarin udah bilang, kan? Mama dateng di jam kerja. Kita perginya kelamaan, udah lewat jam istirahat ...."
"Iya-iya," sambar Gina tampak malas mendengar apa yang sebenarnya sudah ia dengar sebelumnya.
"Kalau 'iya', terus kenapa masih kesel?" tanya Janu.
Garin menunduk, tengah berpikir, apa sebaiknya ia menutup telinga supaya tidak mendengar apa-apa. Janu begitu sabar menghadapi Gina, bicara dengan lembut dan perhatian. Garin cemburu, tapi saat sadar ia bukan siapa-siapa, rasa itu lebih menyakitinya.
"Ya pokoknya kesel. Aku cuma pengen ketemu sama kamu, kenapa dilarang-larang? Apa salahnya ketemu sama calon suamiku sendiri?"
Cukup jelas suara helaan napas Janu didengar Garin. Hingga Garin ikut menghela napasnya karena terbawa.
"Gak, salah, Na," kata Janu sabar, "bukan Mama ngelarang ketemu juga ...."
"Apaan, jelas-jelas gak boleh gitu kok," sambar Gina.
"Gak boleh kalo di jam kerja," Janu menambahkan. "Mama ngizinin kita ketemu, jalan, atau yang lainnya, yang penting jangan di jam kerja, gitu aja. Kamu tahu aku punya tanggung jawab di perusahaan, Mama gak mau aku ngerugiin orang lain cuma karena mau seenaknya sendiri. Di perusahaan itu ada banyak karyawan, ada banyak kepala keluarga. Bukan Mama ngelarang kita ketemu, tapi jalan sama kamu itu ada waktunya sendiri."
Walau Janu telah memberikan pengertian dengan cara yang paling lembut. Balasan dari Gina tetap saja terdengar kesal.
"Kapan?" tuntutnya, "udah lewat jam kerja aja kamu tetap gak mau aku ajak jalan."
"Baru kali ini, Na. Astaga," keluh Janu terdengar frustrasi. "Biasanya juga kan aku mau, tapi hari ini beneran aku lagi capek. Tadi pagi juga kan aku udah cerita sama kamu kalo kepalaku agak pusing."
"Tadi pagi?" Gina terdengar heran, "enggak, kamu gak bilang apa-apa ke aku."
Garin mengangkat muka, menyadari Janu mungkin salah mengingatnya. Tadi pagi Janu memang mengeluh sakit kepala, tapi itu kepadanya bukan pada Gina.
Hening beberapa saat, kemudian terdengar suara Janu. "Enggak, ya? Agak sakit udah dari tadi pagi, bangun tidur," katanya.
"Alesan doang," komentar Gina. "Aku lihat muka kamu gak pucat gak gimana-gimana, tuh."
"Butuh istirahat aja kayaknya," jawab Janu. "Maaf, gak bisa keluar sama kamu. Next weekend kita jalan."
Sudah begitu, namun masih saja terdengar kesal tanggapan yang Gina lontarkan.
"Terserahlah, aku pulang aja kalo gitu."
Suara entakan kaki terdengar jelas. Garin yakin Gina merajuk. Ia jadi bertanya-tanya, apakah Janu benar-benar sakit kepala sejak tadi pagi ataukah alasan saja supaya Gina pergi.
Ada derap langkah lagi. Kemudian samar-samar suara Janu yang tak begitu jelas. Mereka bicara di pintu masuk. Perhatian Garin teralihkan pada layar di genggamannya yang menyala dengan tiba-tiba. Satu pesan ia terima dari Liam.
"What are you doing?"
Garin merasa geli, ingin tertawa. Bule pun ternyata memberikan pertanyaan basi seperti ini.
"Sedang duduk di dalam lemari. Kenapa? Bapak butuh sesuatu? Ini sudah lewat jam kerja."
Garin mengirimkan balasannya. Tidak perlu berbohong, toh Liam hanya akan menganggapnya bercanda.
"WHAT?" balas Liam, dengan deretan huruf kapital.
Garin tergelak dan cepat saja menutup mulutnya. Seketika cemas, apakah suaranya sampai ke telinga Gina dan Janu atau tidak. Ia berdiam diri sejenak dan mendengarkan situasi di luar dengan lebih saksama. Kembali menatap layar, menyadari ada pesan lain yang Liam kirimkan.
"Are you claustrophile or something?"
Tepat setelah membaca pesan itu, pintu lemari digeser. Garin menoleh, terkejut luar biasa.
____*Claustrophile [klaustrofil] n. seseorang yang memiliki kondisi klaustrofilia, menyukai ruang terbatas (misalnya sempit dan tertutup)
_____
bersambung lagi ...
😗😗😘♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Secret
RomanceMenjadi simpanan, menjadi selingkuhan, mungkin terlalu muluk-muluk bagi Garin. Ia mencintai sang atasan, namun dianggap tak lebih dari pemuas nafsu yang dibayar setelah digunakan. Digunakan sebagai pelampiasan karena tak ingin menodai tunangannya. "...