4 hari ... Gpp lah ya. Emang yg enak itu yg naik turun begini. 😌😌 #plakk
_____________
Sebelumnya ..."Boleh saya bergabung?"
Garin juga Anya kompak menoleh pada laki-laki yang menarik kursi dan duduk semeja dengan mereka. Raut Anya terlihat heran, sedangkan Garin cemas mendapati Liam ada di sini.
_____________"Kelihatannya pembicaraan yang menarik." Liam menarik gelas minuman Garin dengan lancang.
"Sepertinya tidak akan cukup menarik untuk Anda, Pak Liam," balas Garin, mengambil kembali minumannya.
"Really?" Liam menyangsikan. Ia tersenyum, beralih menatap Anya. "Saya harus mendengarnya dulu, baru kita bisa tahu."
Anya melirik Garin, tampak jelas meminta pertolongan. Segan pada Liam yang merupakan sepupu dari bosnya, selain itu entah kenapa terasa mengintimidasi. Lagi pula tidak mungkin membahas Janu dengan Liam seperti dengan karyawan lainnya.
Jika dibandingkan dengan Anya, Garin tampak lebih tenang. Ia menghela napas pelan, lalu menatap Liam.
"Bagaimana kalau kami bahkan tidak ingin Anda tahu, Pak Liam?" jawab Garin.
Sambil bertopang dagu, Liam menatap Garin dan tersenyum. "Why not?" tanya Liam.
Anya bangkit dari kursi dan Garin mendongak untuk melihatnya.
"Gue duluan, Rin," kata Anya, "permisi, Pak Liam."
Garin mengangguk, sedangkan Liam tak acuh, menoleh pun tidak. Namun, Anya tetap pergi, melarikan diri dari kecanggungan, meninggalkan Garin sendiri dengan Liam.
"Jangan suka ikut campur urusan orang," gumam Garin. Ia menatap laki-laki itu sekilas, sebelum mengabaikan keberadaannya. Menarik piringnya dan mulai makan.
"Saya cuma penasaran karena kalian kelihatan bersemangat." Liam masih tersenyum seperti sebelumnya.
Garin tak lagi menanggapi, sedangkan Liam tampak menanti.
Lama Liam menunggu, Garin masih tak acuh, sibuk dengan makanannya.
"Apa saya juga tidak boleh ikut campur tentang hubungan kamu dengan sepupu saya?" tanya Liam selanjutnya.
Tangan Garin terhenti sesaat. Liam tersenyum, menyadarinya. Garin melirik Liam sekilas, sebelum kembali pada kegiatannya. Ia menata hati, kemudian lanjut menyibukkan diri dengan makanan, bersikap seolah tak mendengar apa-apa. Berusaha mengabaikan keberadaan Liam walau laki-laki itu terus menatapinya. Kini bahkan Liam bersandar dagu di meja dan tersenyum manis ke arahnya.
"Apakah itu perselingkuhan atau memang bagian dari pekerjaan kamu?" lanjut Liam.
Kalaupun Garin ingin menjawab, jawaban itu tidak ada dalam pilihan yang Liam berikan, ia bukan selingkuhan Janu, bukan juga bagian dari pekerjaannya. Garin memegang sendoknya lebih erat, menenangkan hati.
"Sudah berapa lama?" tanya Liam lebih lirih.
Garin tetap diam, masih berusaha mengabaikan berharap Liam menyerah dengan sendirinya.
"Sejujurnya, saya tidak tahu harus bersikap bagaimana," kata Liam selanjutnya. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi, mungkin sedang berusaha mengintimidasi.
"Haruskah saya bersabar menunggu giliran?"
Mata Garin membesar. Bukan perkataan Liam yang membuatnya terkejut, melainkan gesekan kaki Liam di bawah meja, sengaja membelai betisnya. Garin menarik kakinya menjauh, menghindar dari kaki Liam.
"Atau haruskah saya langsung menemui Janu saja dan bertanya berapa tarif untuk satu malam?" Liam kembali menyapukan kakinya untuk menyapa betis Garin.
Garin mendelik ke arah Liam, sedangkan Liam menanggapinya justru dengan senyuman. Detik berikutnya, laki-laki itu memekik terkejut bahkan kakinya sampai terbentur meja. Ia mengeluh kesakitan, baru saja dapat satu tendangan di tulang keringnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Secret
RomanceMenjadi simpanan, menjadi selingkuhan, mungkin terlalu muluk-muluk bagi Garin. Ia mencintai sang atasan, namun dianggap tak lebih dari pemuas nafsu yang dibayar setelah digunakan. Digunakan sebagai pelampiasan karena tak ingin menodai tunangannya. "...