3 hariiiiiiiiii...
peningkatan 😂🤣Happy weekend
_____________Sebelumnya ...
Garin baru saja duduk. Dahinya berkerut, sayup-sayup mendengar suara. Suara yang ia kenal. Ia menatap ke arah pintu, tempat di mana suara itu berasal.
"Are you sleeping?" Pintu terbuka bersamaan dengan pertanyaan yang terlontar.
Baik Garin maupun Liam sama-sama diam. Mereka saling pandang, membeku di tempat masing-masing.
____________Garin menarik selimut, menutupi diri setelah sadar bagaimana penampilannya yang masih tanpa apa-apa. Liam pun memalingkan muka, tampak menyesal akan kelancangannya.
"Sorry." Perlahan, Liam menutup pintu kembali.
Garin masih menatapi pintu itu, dengan pundak lemas kali ini. Apa yang baru saja terjadi? Liam baru saja memergokinya. Melihat ia dan Janu masih sama-sama tanpa busana, Liam jelas paham situasinya. Garin tak bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini, apa yang akan Liam lakukan setelah ini.
Garin meraup muka dengan frustrasi. Bagaimana ia akan bersikap di depan Liam nanti? Apa yang akan ia katakan jika Liam bertanya atau sekadar membahasnya.
Garin menoleh pada Janu yang bergerak mengganti posisi. Tengah menimbang, haruskah memberitahu Janu soal ini, atau menyimpannya sendiri.
Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam lalu menggeliat. Janu meregangkan otot-ototnya lalu membuka mata. Ia tersenyum saat melihat Garin tengah menatapnya, lalu bangkit duduk sembari mengusap lengan atas wanita di hadapannya.
"Aku tidur nyenyak semalam," kata Janu.
Dan Garin bisa melihat kebenaran kata-kata itu dari wajah cerah yang tersenyum ke arahnya.
"Hm," sahut Garin, "sampai kamu lupa kalau ada yang mau aku omongin semalam."
Janu menggaruk kepalanya sendiri, tampak menyesal, merasa bersalah. Ia lalu berkata, "Sorry."
"Apa yang mau kamu omongin?" tanya Janu selanjutnya.
Garin menelan ludah, menyadari saatnya telah tiba. Ia balas menatap Janu. Tidak tersenyum walau Janu ramah menatapnya.
"Aku berhenti," kata Garin.
Hening.
Garin menunggu tanggapan Janu, sedangkan Janu terlalu syok untuk menanggapi. Senyuman Janu turun perlahan bersama dengan turunnya tangan yang mengusap lengan Garin tadi. Janu tampak terkejut, juga tampak tak mengerti.
"Apa?" tanya Janu, ingin Garin mengulangi kata-katanya sekali lagi.
"Aku gak mau datang dan ngelakuin ini lagi. Aku mau berhenti." Garin membuatnya lebih jelas kali ini. "Kita sama-sama tahu, kamu sebentar lagi punya istri. Kamu gak akan butuh wanita lain lagi. Kamu bisa lakuin sama istrimu sendiri. Kamu bisa lakuin sama Gina. Jadi, aku berhenti."
Janu masih terpaku, menatap Garin dan membisu. Garin lelah, ia memalingkan muka, tak lagi berharap Janu mengatakan apa-apa. Garin tak ingin berlama-lama, tak ingin goyah gara-gara melihat wajah laki-laki di hadapannya.
"Aku tahu, kamu pasti ngerti." Garin turun dari ranjang, membawa serta selimut yang melilit tubuhnya. Ia kemudian sibuk mengais pakaiannya yang berserak di mana-mana. "Jadi, jangan minta aku datang ke sini lagi atau lakuin hal sejenis ini di mana pun, apa lagi di kantor."
Garin sudah mendapatkan semua pakaiannya. Ia berdiri menatap Janu untuk terakhir kalinya.
"Aku berhenti," kata Garin lagi, ingin membuatnya sangat jelas bagi Janu. Ia lalu pergi menuju kamar mandi, bersiap untuk pergi.
_____
Garin baru melewati pintu masuk kantornya. Berjalan sambil melamun, ia terus mengingat kata-katanya pada Janu tadi pagi. Ia khawatir tidak cukup jelas mengatakannya. Khawatir membuat Janu salah tangkap atau semacamnya. Hanya berjaga-jaga seandainya ada yang terlewat, jadi ia terus mengulang ingatan itu.
Garin menghela napas panjang, kemudian menatap lebih fokus pada jalannya. Ia tersenyum pada seseorang, sebelum masuk dalam lift. Garin menatapi pintu lift yang menutup perlahan, jadi ingat dengan Liam. Teringat wajah syoknya tadi pagi sebelum pergi. Ya, tentu saja, siapa yang tidak syok jika mendapati penampakan serupa, Garin yakin ia pun pasti merasakan hal yang sama jika jadi Liam. Namun, kemudian apa? Apa yang akan terjadi saat ia bertemu dengan Liam nanti? Haruskah ia mengatakan pada Janu, supaya Janu yang mengurusnya?
Baru membayangkan bicara pada Janu saja dada Garin terasa sesak. Tadi pagi Janu tidak mengatakan apa-apa hingga ia pergi, Garin tidak bisa menebak akan seperti apa sikap laki-laki itu nanti. Sedangkan Garin, ia bertekad untuk menjadi Garin yang biasanya. Bersikap seperti asisten Janu yang biasanya. Hanya sebentar, ia hanya harus melakukannya sebentar sebelum pergi.
Lift berhenti, pintunya terbuka, lalu Garin melangkah keluar.
"Dari mana, Rin, kok masuk siang?" tanya seorang teman.
Garin tersenyum masam. "Ada acara sebentar tadi," jawabnya. Tak ingin berbincang lebih jauh, Garin berlalu begitu saja langsung menuju mejanya.
Garin letakkan tasnya, kemudian menatapi pintu ruangan Janu dengan perasaan yang tidak ia mengerti. Ia lega telah mengakhirinya, namun merasakan sakit juga. Kira-kira apa yang dirasakan dan dipikirkan Janu saat ini?
Garin duduk, kemudian menghela napas. Menatap pintu ruangan Liam kali ini. Ya, harusnya bukan Janu yang lebih ia khawatirkan, melainkan Liam.
Garin menoleh begitu mendengar pintu ruangan Janu terbuka. Muncul orang yang sedang tidak ingin ia temui hari ini. Liam menutup pintu sambil menatapi kertas di tangannya. Ia menoleh sekilas pada Garin sebelum kembali pada kertasnya. Langkahnya terhenti, menoleh lagi pada Garin tampak terkejut.
Liam diam tak mengatakan apa-apa maka Garin juga hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Liam menggeser tubuhnya, menghadap Garin lebih sempurna. Tampak ingin mengatakan sesuatu, namun kehabisan kata-kata.
Garin tetap diam, menatap Liam dengan datar. Ia bahkan tidak tersenyum ramah seperti biasanya. Sengaja menyiapkan diri untuk apa pun yang akan Liam ambil sebagai sikap. Liam mungkin saja terlihat ramah dan polos, namun Garin pernah melihat sendiri bagaimana laki-laki itu memasang topeng yang begitu nyata, bagaimana laki-laki itu berbohong dengan begitu lancarnya. Liam bukan laki-laki yang polos apa adanya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak Liam?" tanya Garin kemudian.
Senyum langsung timbul di bibir Liam, sedangkan Garin tak berniat memberikan senyum yang sama. Garin masih dingin balas menatapnya.
"Ya," jawab Liam, "ke ruangan saya, Rin!" Liam berlalu setelah mengatakannya.
Garin belum beranjak, bahkan hingga Liam masuk ke ruangannya. Entah apa yang akan Liam katakan, sepertinya terlalu naif jika Garin berharap ini hanya masalah pekerjaan.
Garin menghela napas sembari bangkit dari kursinya. Ia berusaha untuk tetap tenang, berjalan mendatangi ruangan Liam.
_____
Bersambung ...
Aku bingung, mau kasih note apaan buat penutupnya. Sebenernya gak penting-penting amat juga cuap-cuapku tiap hari. Tapi berasa kurang kalo gak dikasih, apa lagi aku tahu ada di antara kalian yang selain suka baca ceritanya, hobi juga bacain kegajeanku di note penutup seperti ini. Ckckck. Kayak sekarang ini. Ini penutup intinya apa coba? Tetep dibaca juga kan?
Baca duluan di KaryaKarsa sudah sampai bab 32 ♥️. Bisa dibuka gratis kalau kamu setia mengikuti info di Instagram ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Secret
RomanceMenjadi simpanan, menjadi selingkuhan, mungkin terlalu muluk-muluk bagi Garin. Ia mencintai sang atasan, namun dianggap tak lebih dari pemuas nafsu yang dibayar setelah digunakan. Digunakan sebagai pelampiasan karena tak ingin menodai tunangannya. "...