Hai ... Kangen?
Yg udah lupa sama ceritanya, baca ulang aja yak 😂.
Happy reading ♥️
______________________Garin tidak bicara hingga mereka kembali ke kantor. Garin lakukan saran Liam untuk diam, sayangnya tidak hanya diam kepada Nyonya Ranti, tapi juga diam kepada Liam.
Mereka tiba dan langkah keduanya terhenti mendapati Janu sudah menunggu. Ia duduk di meja Garin, menoleh saat menyadari kedatangan sepupu dan asistennya. Tatapannya lebih fokus, kini tertuju pada Garin saja. Liam menyadarinya, ia menguraikan lengan untuk menahan Garin, seolah membentenginya.
Janu bangkit perlahan. Tatapannya beralih pada Liam dengan begitu tajam, kentara ia sedang tidak senang.
"Rin, saya mau bicara," kata Janu, "berdua saja," tambahnya.
Liam menggeleng perlahan. "Saya ikut," katanya.
"Tidak ada urusannya sama kamu, Liam," jawab Janu, kemudian berlalu masuk ke ruangannya.
Tidak ada paksaan, tidak juga sulut perkelahian. Janu meminta Garin datang dan menolak Liam, dengan cara yang amat tenang. Liam lebih terkejut saat Garin menurunkan lengannya perlahan, lalu berjalan. Wanita itu setuju untuk bicara dengan Janu, setuju juga untuk melarang Liam ikut. Garin masuk ke ruangan Janu, menutup pintu lalu menguncinya. Tanda bahwa ia benar-benar tidak ingin Liam mencampurinya. Maka, Liam tidak punya pilihan selain menunggu di luar.
Di dalam, Garin dapati Janu duduk di sofa dengan tenang menunggunya. Garin berjalan mendekati meja, lalu berhenti dan berdiri tepat di seberang atasannya. Garin tak mengatakan apa-apa, lebih memilih untuk menunggu karena memang Janu bilang, dia yang ingin bicara.
Menunggu dalam diam dan yang ada hanya keheningan, membuat masa lima belas detik saja terasa begitu lama. Garin mengangkat muka untuk melihat apa yang Janu lakukan sebenarnya. Kenapa tak juga mulai bicara, sedangkan ia tidak mendengar Janu sibuk melakukan sesuatu atau sebagainya. Janu hanya diam, menatap Garin dari tempat ia berada.
"Kamu boleh duduk," lirih Janu.
"Saya berdiri saja, Pak," jawab Garin dengan sopan.
"Ini gak akan sebentar, tolong duduk aja, Rin!"
"Tolong persingkat saja, Pak."
Janu tak langsung menjawabnya kali ini. Untuk beberapa saat, suasana hening kembali. Saat Janu kembali menjawab, suaranya lebih lirih, seperti gumaman untuk diri sendiri.
"Aku gak akan macam-macam, kalau itu yang kamu takutin."
Garin cukup tercengang mendengarnya. Ia menatap Janu, mendapati laki-laki itu tengah membuang muka, sengaja tidak ingin balas menatapnya. Entah bagaimana Janu tahu keresahannya. Garin cukup khawatir sejak pertama masuk tadi, Janu langsung saja menggunakan bahasa yang tidak formal padanya. Membuatnya waspada saat itu juga.
Namun, Garin tetap memilih untuk berdiri. Tampak Janu menghela napas, sebelum bangkit untuk mengalah.
"Aku gak tahu, siapa yang bohong," kata Janu, memulainya. Berjalan pelan ia mendatangi Garin. "Entah Liam bohong soal berhasil mengubah pikiran kamu, atau kamu yang bohong sama Liam soal keputusan itu. Yang pasti aku tahu, kenyataannya kamu tidak berubah pikiran."
Garin tak menanggapi walau cukup terkesan tahu Janu tahu isi hatinya. Janu sampai tepat di sampingnya, maka Garin kembali harus waspada. Ia berdebar walau Janu tak melakukan apa-apa. Namun, sungguh Janu cukup dekat hingga aromanya terus terhirup dalam penciuman Garin. Garin putuskan untuk bergeser menjauh, satu langkah saja.
"Apa bisa ngomongnya lebih cepat aja?" kata Garin dengan dingin.
Garin terkesiap melihat Janu tiba-tiba melangkah mendekat. Langkah yang langsung tertahan entah karena apa. Garin menatap Janu, jadi bingung melihat Janu sama terkejutnya. Mereka beradu mata, sedangkan Garin tak bisa mengartikan sorot mata yang mengarah padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Secret
RomanceMenjadi simpanan, menjadi selingkuhan, mungkin terlalu muluk-muluk bagi Garin. Ia mencintai sang atasan, namun dianggap tak lebih dari pemuas nafsu yang dibayar setelah digunakan. Digunakan sebagai pelampiasan karena tak ingin menodai tunangannya. "...