26

29.5K 3.3K 329
                                    

_______________

Garin mengambil dompet dan ponselnya, merasa tidak perlu membawa banyak barang karena hanya akan makan siang di seberang jalan.

"Gue pergi, ya?" pamit Garin pada Lita.

"Okay," jawab Lita, bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Terlalu serius menatap layar ponsel di tangannya.

Dalam waktu singkat, Garin sampai di kafe tujuannya. Tidak sulit bagi Garin untuk menemukan laki-laki blasteran yang akan menjadi teman makan siangnya. Postur yang lebih tinggi dari pengunjung lainnya itu tentu mudah menarik perhatian mata. Liam sedang dalam percakapan telepon saat Garin menemukannya. Laki-laki itu hanya mengangkat tangan untuk menyapa.

Garin menarik kursi, lalu membawa dirinya duduk. Dia kemudian mengambil buku menu di hadapan Liam. Sambil membuka-buka buku menu, ia mendengar Liam hanya mengatakan "ya" dan "that one" pada orang di ujung sambungan. Sesaat kemudian Liam menurunkan ponsel dari telinga, kelihatannya sudah selesai dengan panggilan teleponnya.

"Kamu punya rekomendasi, kira-kira makanan apa yang harus saya pesan?" Liam mencondongkan tubuhnya ingin bisa melihat menu di depan Garin juga.

Garin menggeleng tanpa mengalihkan perhatian dari daftar menu. "Aku belum pernah makan di sini," jelasnya.

"Apa? Tapi, ini di depan tempat kerjamu," bingung Liam.

"Jadi?" Garin balik bertanya. Ia tersenyum menyodorkan kembali daftar menunya pada Liam.

Liam menerima daftar menu itu. "Lalu, biasanya makan di mana? Mari ke sana lain kali." Liam membalik halaman menunya.

"Di dalam toko," jawab Garin. Menyadari kernyitan Liam, Garin langsung melanjutkan. "Lita menyediakan makan siang untuk semua pegawai. Jadi, kalau mau makan di sana lain kali, sebaiknya kamu melamar jadi pegawai toko roti." Garin tertawa setelahnya.

Liam bermasam muka merasa dikerjai.

“Saya pasti mati muda kalau jadi pegawainya Lita dan harus mendengar omelannya setiap hari,” gerutu Liam sambil bergidik ngeri.

Garin mendelik pada Liam. Tak terima Liam mengeluh tentang temannya, tapi Garin tersenyum geli juga.

Tak lama kemudian seorang pramusaji mengambil pesanan mereka.

"Jadi, kenapa kamu kembali ke Sidney?" tanya Garin memulai obrolan. "Tugasmu sudah selesai?" sindir Garin kemudian.

Liam tidak tersinggung, malahan tersenyum geli dan mengangguk. Senyumnya berubah nakal dan menatap Garin dengan keantusiasan yang mencurigakan.

Garin balas menatap Liam, dan mengernyit tidak paham. Detik berikutnya Garin menyadari apa yang Liam lakukan di bawah meja, ada kaki yang menyentuh Garin di sana, bedanya kali ini Liam tidak selancang beberapa bulan lalu yang merambat naik sampai betis, kali ini Liam hanya sampai di ujung sepatunya. Garin tahu laki-laki ini memang hanya bercanda. Garin membalas senyuman Liam, sedangkan sesaat kemudian Liam tersentak karena mendapatkan tendangan cukup keras.

Liam segera mengeluh kesakitan, membungkuk untuk bisa mengelus tulang keringnya. "That was hurt," desis Liam.

Garin tersenyum dan merasa bangga, keluhan Liam terdengar seperti pujian di telinganya.

"Masih saja dapat tendangan," keluh Liam selanjutnya. "Lihat, kan? Sudah berbulan-bulan dan Garin tidak jatuh cinta pada saya. Tugas saya gagal total."

Garin tersenyum getir. Meski Liam mengatakannya hanya untuk bercanda, tapi Garin jadi ingat lebih banyak detailnya. Tentang apa tugasnya, siapa yang menyuruhnya, apa tujuannya, dan yang terakhir adalah alasannya. Garin berusaha menyamarkan tarikan napasnya yang amat dalam agar Liam tidak menyadari bahwa dirinya sedang kesesakan.

Filthy SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang